Minggu lalu saya menghadiri forum bertajuk "Konvensi Jaminan Sosial dan Upah Minimum". Agak terperangah mendengar sejumlah pembicara mengutarakan upah minimum sebagai jaring pengaman (safety nets). Bukankah pekerjaan dan upah layak merupakan hak ekonomi (economic right) warga negara? Mengapa upah minimum dipandang sebagai jaring pengaman? Karena Indonesia tak punya sistem jaring-jaring pengaman nasional. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sampai detik ini belum hadir. Pemerintah sibuk menandatangani perjanjian perdagangan bebas. Indonesia bisa dikatakan sebagai kampiun perdagangan bebas. Tengok saja betapa hiperaktif pemerintah mengusung perdagangan bebas di forum APEC yang lalu. Padahal, kurang bebas apa lagi kita ini. Tengok saja, Indonesia paling bebas di Asean setelah Singapura yang memang paling bebas di dunia. Pemerintah mendorong rakyatnya jadi pemain sirkus di kancah mondial. Rakyatnya disuruh jumpalitan menghadapi persaingan liar. Tapi beda dengan permainan sirkus yang menggelar bantalan empuk sebagai jaring pengaman kalau pemain sirkus terjatuh, pemerintah tak melindungi rakyatnya dengan jaring-jaring pengaman. Secara ekonomi dan politik, indeks globalisasi Indonesia lumayan bagus, ada di kelompok tengah. Artinya, secara ekonomi, apalagi politik, Indonesia bisa bersandingan dengan negara-negara maju. Tetapi, secara sosial rakyat kita belum siap berjibaku di kancah sirkus dunia. Indeks globalisasi sosial Indonesia tercecer di urutan ke-147 dari 205 negara, jauh lebih buruk ketimbang indeks globalisasi ekonomi dan indeks globalisasi politik, dan juga indeks globalisasi keseluruhan.