Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Munir: Sosok Manusia Langka

2 September 2012   10:07 Diperbarui: 7 September 2016   11:23 3043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
*) Sumber Gambar: KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA

Catatan: Tulisan ini dibuat untuk mengenang setahun wafatnya Munir. Teman-teman membukukannya bersama tulisan-tulisan lain. Sudah sewindu sahabat kita direnggut nyawanya tanpa kejelasan. Kita tak boleh lupa dan perjuangan Munir belum selesai.

***

Ada satu peristiwa langka yang kebetulan melibatkan Munir dan saya. Pengeboman di sejumlah gereja di berbagai kota pada malam Natal 24 Desember 2001 membuat banyak kalangan sangat geram. Para tokoh agama dan sejumlah tokoh masyarakat secara spontan terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi kedamaian negeri ini. Kami sangat khawatir peristiwa serupa merembet ke obyek-obyek agama lainnya, terutama tempat peribadatan umat Islam, mengingat beberapa hari kemudian umat Islam akan merayakan Idul Fitri. Kami berupaya keras agar peristiwa ini tak mengarah pada konflik agama.

Dalam waktu yang sangat singkat, dengan komunikasi lewat telefon dan pesan singkat (SMS) dilakukanlah pertemuan pertama. Peristiwa pertemuan itulah yang saya pandang sangat langka, diselenggarakan tanggal 1 bulan 1 (Januari) tahun 2001, pukul 1 siang, di kantor Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang beralamat di Jalan Ciasem I No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta. Pada pertemuan inilah lahir Forum Indonesia Damai (FID).

Sudah barang tentu Munir adalah salah seorang tokoh yang paling sibuk. Munir kalau tak salah diberi tugas khusus bersama Asmara Nababan. Penugasan ini sangat beralasan karena keduanya telah memiliki akumulasi informasi berkaitan dengan berbagai peristiwa pengeboman sebelumnya dan beragam konflik di tanah air yang berbau pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Saya masih ingat bahwa Tim Munir dalam waktu relatif pendek telah banyak mengumpulkan data dan informasi. Namun, kata Munir, ada satu mata-rantai yang hilang sehingga kesimpulan akhir tak bisa tuntas. Ujung-ujungnya apalagi kalau bukan keterlibatan oknum tentara. Sayang, akhirnya FID tak mampu mengungkap tuntas peristiwa ini. Meminjam istilah Munir, “ada tembok-tembok tebal yang tak bisa ditembus, sehingga kita tak berhasil mengungkapkannya secara utuh.”

Analisisnya yang lugas dan logis yang mengarah pada keterlibatan oknum tentara konsisten dengan temuan-temuan Almarhum selama ini. Tak heran kalau sosok Munir membuat kalangan tentara sangat “alergi” terhadapnya. “Kebencian” tentara pada Munir tercermin dari penolakan mereka terhadap kehadiran Munir di Wisma Yani di Jalan Diponegoro, di seberang Taman Suropati, tatkala kami dari FID melakukan pertemuan dengan petinggi militer. 

Munir sudah hadir di tempat pertemuan, namun tak diperkenankan masuk karena tak ada di dalam daftar peserta pertemuan. Ia hanya menunggu di luar sampai pertemuan usai. Saya sendiri bertemu dengan Munir di halaman gedung setelah pertemuan itu. Seingat saya pertemuan berlangsung pada malam Takbiran tatkala umat Islam baru saya menyelesaikan hari terakhir puasa. Ketaksukaan tentara pada Munir pernah pula disampaikan langsung oleh seorang Jenderal kepada saya.

Pada kesempatan lain saya menginap satu kamar dengan Munir di Wisma Indonesia di Washington, D.C. Kami diundang oleh Permias (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) menghadiri seminar. Saya bicara ekonomi dan tentu saja Munir bicara tentang hak asasi manusia di Indonesia. 

Sehabis acara itu saya langsung pulang ke Indonesia via Tokyo, sedangkan Munir masih harus singgah ke beberapa negara, kalau saya tak salah ingat ke Belanda. Saya membawa koper sedangkan Munir Cuma satu tas kecil semacam tas jinjing untuk olahraga. Betapa bersahajanya Munir. Almarhum betul-betul merupakan sosok yang sederhana lahir-batin.

Sejauh pengamatan saya, ia mudah tertidur. Saya iri padanya karena saya agak susah tertidur. Begitu lelapnya tidur Almarhum seperti lelapnya seorang bayi, sementara saya berupaya susah payah melelahkan diri dengan cara membaca dan mengetik di komputer yang selalu setia menemani saya di dalam perjalanan.

Pada masa kampanye legislatif saya bersama dengan Cak Nur dan Franky Sahilatua turut serta berkampanye untuk beberapa partai, di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Pelapor, Partai Demokrasi Kebangsaan yang diketuai oleh Ryas Rasyid, PKS, dan Parti Syarikat Indonesia (PSI). 

Keterlibatan kami lebih bermotifkan untuk memperbaiki keseimbangan politik dengan harapan terbentuknya ruang yang lebih lebar bagi terjadinya sirkulasi politik dan pembaruan politik. Upaya ini mungkin tak banyak hasilnya. Namun, bagi kami yang penting kita harus berbuat sesuatu, sekecil apa pun yang kita bisa lakukan.

Kehadiran saya di dalam beberapa kampanye terbuka sempat membuat gusar teman-teman yang tergabung di dalam “koalisi” Gerakan Anti Politisi Busuk yang mana saya merupakan salah seorang tim pengarah. Di dalam tim pengarah ini juga ada Munir. Beberapa teman memandang langkah saya itu bertentangan dengan netralitas Gerakan. Dalam kaitan ini Munir mengirimkan SMS yang bunyinya kira-kira seperti ini: “Saya setuju dengan langkah Anda. Saya pun melakukan hal yang serupa, tapi caranya saja yang berbeda.” Teman lain yang juga tak menyalahkan saya adalah Emmy Hafild dari Transparency International-Indonesia (TI-Indonesia).

Mungkin cara yang saya lakukan memang kurang patut. Tak ada niatan bagi saya, Munir dan teman-teman lain yang melakukan tindakan serupa untuk mencederai Gerakan. Mungkin cara kami ini lebih mencuatkan kegeraman atas realitas politik yang sangat kompromistis dan pragmatis, sehingga kami tak melihat ada celah yang cukup memadai bagi terjadinya perubahan. Antisiasme yang mungkin berlebihan inilah yang membuat kami berbuat seperti itu.

Memasuki proses pemilihan presiden, saya sama sekali tak terlibat membantu salah satu kandidat. Saya memang ditawari oleh kubu Amien-Siswono untuk membuat iklan dukungan. Saya menolak karena sejumlah alasan yang tak bisa saya ungkapkan secara terbuka. Sementara itu, kita menyaksikan tayangan iklan berupaya kemunculan sosok Munir yang secara langsung mendukung Amien-Siswono. 

Di dalam iklan kampanye itu jelas-jelas Munir menaruh harapan kepada pasangan ini bagi tertegakkannya hak asasi manusia di tanah air tercinta. Lagi-lagi ekspresi Munir di dalam iklan kampanye ini lebih mencerminkan kegundahannya terhadap nasib penegakan HAM di tanah air ketimbang sikap partisan kepada salah satu calon. Mungkin juga cara yang ditempuh Munir merupakan refleksi dari suatu harapan yang tersisa, walau mungkin dia sendiri menyadari betapa harapan itu sangat kecil.

Setelah usai pemilihan presiden putaran pertama, saya tak tahu sikap Munir terhadap dua pasangan yang tersisa. Sampai suatu ketika, beberapa hari sebelum pemilihan presiden putaran kedua saya bertemu dengan Asmara Nababan di dalam pesawat menuju Jakarta. Asmara Nababan menunjukkan SMS dari Munir kepadanya yang isinya kira-kira: “Apa yang bisa kita perbuat untuk menahan laju Gerak Susilo Bambang Yudhoyono?”

Tak pelak lagi isi SMS itu memperkuat konsistensi Munir yang mungkin eksesif terhadap militer dan pensiunan militer. Seperti banyak orang, Munir mungkin sangat kecewa kepada pemerintahan Megawati, tetapi ia jauh lebih khawatir akan nasib penegakan HAM dan penindakan terhadap pelanggar HAM jika mantan jenderal yang menjadi presiden kita.

Saya yakin Munir tak benci kepada individu-individu tentara dan tidak anti militer sebagai aparat negara. Kekhawatirannnya sangat beralasan karena bertolak pada perjalanan historis yang didasarkan pada fakta obyektif. Ia mendambakan sosok tentara yang profesional, tak bermain di pusaran politik praktis. Ia mendukung reformasi TNI dan selalu terlibat di dalam pembahasan tentang topik ini. Berkali-kali kami dari kalangan masyarakat sipil dan sejumlah kalangan militer duduk bersama-sama, khususnya yang dimotori oleh LSM Propatria. 

Dari berbagai pertemuan itu, tak terbersit dari pemikiran Munir untuk memusuhi tentara. Munir menyampaikan pikiran-pikirannya secara runtut, didukung dengan data dan analisis yang tajam. Teman-teman dari TNI pun tak ada yang menyanggahnya secara emosional. Dari pengalaman-pengalaman ini saya optimis bahwa kedua belah pihak memiliki concern yang sama dan sama-sama memiliki niat baik bagi tegaknya kehidupan bernegara dan berbangsa yang lebih sehat dan bermartabat. Mungkin cara dan kecepatannya saja yang berbeda.

Munir tak sempat berkomentar atas Undang-undang TNI yang baru saja diloloskan oleh DPR. Tapi jelas ada kontribusi Almarhum di sana. Sebagian cita-citanya telah terwujud karena Undang-undang ini telah menggariskan bahwa TNI adalah kekuatan yang profesional dan pantang terlibat di dalam kegiatan poltik praktis dan juga tak boleh berbisnis. Perjuangan panjangnya tak sia-sia. Pengorbanannya beroleh hasil, walau mungkin belum seratus persen seperti yang ia dambakan. 

Namun, saya rasa sosok Munir bukanlah yang mengejar kesempurnaan. Ia adalah orang yang penyabar, yang mencerminkan penghargaannya atas pentingnya proses dalam setiap perubahan. Bukankah musuh dari demokrasi adalah ketaksabaran? Bukankah ketaksabaran berpotensi akan melahirkan demagogues, yang mengaku bahwa dirinya adalah pengusung perubahan, penabur janji-janji dan mengkalim dirinya sebagai demokrat sejati; padahal semuanya cuma kepalsuan dan lebih dari itu terkandung di dalam dirinya benih-benih otoritarisnisme?

Kiprah Munir dengan segala sepak terjangnya merupakan cerminan dari dinamika kehidupan politik nyata. Sumbangsih dan segala pengorbanannya memiliki tempat tersendiri di hati sabunari masyarakat luas. Saya kehilangan kesempatan untuk mengantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Pada hari pemakamannya saya harus memberikan kuliah umum di Universitas Darul Ulum di Lamongan. Hari itu saya cuma bisa berdoa bersama-sama para sivitas akademika Uniersitas Darul Umum Lamongan semoga Almarhum diberikan kelapangan di alam barunya.

Ketika hendak kembali ke Jakarta keesokan harinya, di bandara Juanda Surabaya saya disapa oleh seorang ibu yang saya tak kenal. Ia seorang Ibu rumah tangga yang tak berpolitik. Ia terus “nyerocos” ke saya tengtang kebaikan Munir. Ia bercerita betapa Munir sangat dihormati di kalangan umat Katolik. Kata si ibu ini: umat Katolik mendoakan kepulangan Munir pada kebaktian hari minggu di gereja-gereja. Ia pun bercerita menyaksikan betapa pengusung mayat Munir tak bisa bergerak sehingga hanya diestafetkan sekitar hampir satu kilometer jajaran pelayat. Memang suasana itulah yang saya saksikan di televisi pada Sabtu sore itu.

Munir tak punya apa-apa kecuali idealisme dan konsistensi seorang pejuang. Tak kurang Panglima TNI mengatakan bahwa TNI tak punya masalah dengan TNI. Komentar ini sangat melegakan dan menunjukkan satrianya Panglima TNI kita.

Munir bukan seorang pejabat. Ia tak pernah menyandang jabatan publik. Tapi masyarakat luas sangat menghormatinya. Perasaan kehilangan masyarakat luas merupakan cermin dari sumbangan nyata yang telah ia berikan kepada masyarakat dan bangsanya.

Saya termenung dan belajar banyak dari sosok langka seorang Munir. Seorang yang bersahaja, tanpa bintang dan tanda jasa dari negara, tapi diratapi kepulangannya. Penyandang sederet bintang jasa dan gelar kehormatan serta mantan pejabat ini dan itu belum tentu akan meninggalkan nama harum seperti Munir. Kita harus belajar banyak untuk menjadi manusia berarti seperti Munir. Selamat jalan Saudaraku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun