Sejak kelahirannya pada 1 Februari 2021, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) sontak menjadi buah bibir. Merger tiga bank syariah BUMN ini melahirkan raksasa baru di industri keuangan nasional. Dengan aset menembus Rp400 triliun dan melayani puluhan juta nasabah, BSI bukan lagi sekadar bank, melainkan simbol kebangkitan ekonomi syariah Indonesia.
Kantor Pusat BSI, simbol kekuatan baru ekonomi syariah Indonesia.
Kita semua bertepuk tangan. Akhirnya, ada bank syariah yang bisa "bertarung" di liga utama, bersaing langsung dengan bank-bank konvensional papan atas. Namun, di balik euforia dan angka-angka fantastis itu, ada satu pertanyaan fundamental yang jarang dibahas di warung kopi: Siapa sebenarnya pemilik raksasa syariah ini?
Jawabannya mungkin akan membuat sebagian orang mengernyitkan dahi. Pemegang saham mayoritas BSI adalah tiga induknya: Bank Mandiri (51,47%), BNI (23,24%), dan BRI (15,38%). Ya, bank syariah terbesar di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini dikendalikan oleh bank-bank konvensional.
Fenomena ini bukanlah hal baru, tetapi skala BSI membuatnya menjadi studi kasus yang luar biasa menarik. Ini bukan sekadar isu kepemilikan, melainkan sebuah persimpangan krusial yang melibatkan tiga dilema besar: Regulasi, Etika, dan Keberlanjutan Bisnis.
Dilema #1: Aturan Main yang Rawan Benturan Kepentingan
Secara regulasi, model ini sah-sah saja. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki aturan main untuk memastikan anak perusahaan syariah tetap independen. Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap potensi benturan kepentingan (conflict of interest).
Bayangkan sebuah skenario: BSI ingin meluncurkan produk pembiayaan KPR syariah yang sangat inovatif dan murah, berpotensi menggerus pasar KPR konvensional milik induknya. Apakah induk akan 100% mendukung? Atau jangan-jangan, secara halus, inovasi itu akan diperlambat agar tidak "mengganggu" bisnis utama grup? Ini adalah pertanyaan strategis yang valid. Pengawasan regulator memang ada, tapi pengaruh korporat dari induk seringkali bekerja di level strategis yang tak tersentuh.
Dilema #2: Menjaga Kemurnian "Roh" Syariah
Ini mungkin dilema yang paling sensitif. Prinsip utama bank syariah adalah beroperasi secara kaffah (menyeluruh) sesuai syariah, menghindari riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi). Sementara itu, kita tahu bahwa sumber keuntungan utama bank konvensional adalah bunga (riba).