Ketika dihadapkan dengan pembangunan negara semisal PSN geothermal, ada beberapa narasi yang selalu hidup di tengah masyarakat yakni soal masyarakat adat, tanah ulayat dan konsep keadilan sosial. Semakin bernyawanya tema-tema seperti ini sebenarnya tidak terlepas dari latar belakang adanya proyek negara yang mengacu pada keadilan sosial bersamaan pula dengan alasan dibalik penolakan proyek negara yang bermuara pada dalih masyarakat adat dan tanah ulayat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran proyek-proyek pembangunan negara menjadi pengejawantahan cita-cita keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila Kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Bahwasannya pembangunan negara dilakukan sejalan dengan idea keadilan sosial yaitu kesejahteraan bagi segenap manusia Indonesia di seluruh wilayah NKRI. Selain itu, pembangunan juga tidak lain sebagai upaya nyata dari negara untuk memajukan dan memakmurkan rakyat Indonesia.
Dalam pada itu, pembangunan negara sebagai perwujudnyataan cita-cita keadilan sosial juga diwarnai gerakan tolak pembangunan negara yang mana berdiri teguh pada idea masyarakat adat dan tanah ulayat yang notabene diakui secara konstitusional oleh negara. Bahwasannya negara harus mendapat legitimasi masyarakat adat terhadap pembangunan yang hadir pada suatu wilayah adat. Tanah ulayat yang dijadikan sebagai simbol keberadaan masyarakat adat kemudian dijadikan sebagai "senjata" tolak pembangunan.
Idea keadilan sosial dari negara yang berhadapan dengan mempertahankan tanah ulayat dari masyarakat membawa kita semua pada satu pertanyaan; bagaimana caranya agar pembangunan negara berjalan seiring dengan keberadaan masyarakat adat?
Untuk menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan extraordinary semacam ini, mari terlebih dahulu memahami masyarakat adat dan tanah ulayat. Pertama-tama, apa itu masyarakat adat? Masyarakat adat adalah suatu komunitas masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang menjalankan kehidupan sehari-hari secara beradat. Hidup beradat maksudnya: menjalani kebiasaan secara turun temurun; memiliki struktur kelembagaan adat yang jelas; masih mempraktekan ritual-ritual adat secara konsisten; dan mempunyai wilayah-tanah milik bersama (komunal).
Eksistensi masyarakat adat kental dengan yang namanya hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak atas tanah yang bersifat turun temurun dan bersifat komunal (milik bersama) pada suatu masyarakat adat. Hak ulayat ini kemudian dilekatkan atas seluruh tanah milik masyarakat adat dan tanah adat itu disebut tanah ulayat. Jadi, alur pikirnya adalah tanah ulayat berasal dari hak ulayat dan hak ulayat berasal dari masyarakat adat.
Ketika berhadapan dengan pembangunan negara semisal PSN geothermal yang masif dikerjakan rezim Prabowo, tanah ulayat inilah yang sering kali dijadikan obyek utama penolakan. Lazimnya, diklaim bahwa masyarakat adat menolak pembangunan negara karena tanah yang terdampak proyek merupakan tanah ulayat. Dinarasikan, para leluhur-nenek moyang akan marah ketika tanah dialihkan untuk kebutuhan pembangunan negara. Selain itu, dibumbui dengan ketakutan akan bencana longsor hingga gagal panen; yang sebenarnya hanyalah ilusi demi menarik simpati publik dan memperkuat gerakan tolak pembangunan.
Gerakan tolak pembangunan yang berpayung pada masyarakat adat dan tanah ulayat pada akhirnya menimbulkan kecurigaan. Jangan-jangan masyarakat adat dan tanah ulayat hanyalah topeng untuk menyembunyikan agenda dan kepentingan ekonomi di belakangnya. Mengapa dikatakan demikian? karena gerakan tolak pembangunan negara biasanya muncul tidak secara organik-alami; melainkan karena pengaruh dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Padahal, kalau masyarakat terdampak pembangunan mampu berpikir realistis; bukankah pembangunan negara sebagai jalan utama menuju kesejahteraan ekonomi mereka? Di tengah situasi negara yang mendapat peringkat 4 dunia dan juara 1 Asean dalam hal kemiskinan, bukankah pembangunan dapat menjadi jalan untuk mengurai kemiskinan?
Terkadang saya selalu berpikir, jangan-jangan gerakan tolak pembangunan negara semisal tolak geothermal di Pulau Flores; lebih khusus di wilayah Poco Leok merupakan bentuk pemeliharaan kemiskinan terhadap masyarakat Flores? Masyarakat adat 2 gendang (Lale dan Wewo) di wilayah Desa Wewo yang berdampak pembangunan geothermal tidak pernah "menjual" narasi tanah ulayat ketika berhadapan dengan pembangunan geothermal. Lihatlah PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi sejak 2012-sekarang. Tidak boleh dinafikan bahwa kehadiran PLTP Ulumbu telah berkontribusi besar dalam pengembangan ekonomi masyarakat sekitar terutama masyarakat Desa Wewo.