Mohon tunggu...
Fairuz zabady
Fairuz zabady Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Malang, 22 agustus 1976

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jika Bilangan 1 Tak Pernah Ada

18 Januari 2021   10:09 Diperbarui: 18 Januari 2021   10:33 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak di pra sekolah kita mengenal urutan bilangan dimulai dari 1, 2, dst. Lalu bagaimana seandainya jika bilangan 1 tidak pernah ada, maka urutan bilangan yg kita kenal akan menjadi 2,3,4 dst. Pertanyaan ini dapat dilanjutkan dengan Mengapa urutan bilangan dimulai dari 1 kenapa tidak dimulai dari 3  ? dan bagaimana jika angka 1 tidak pernah ada ? apa yang akan terjadi ?

Berangkat dari perdebatan konsep matematika klasik dari dua kubu yang berbeda, yaitu kubu Realisme/Intuitif yang menyatakan bahwa bilangan adalah prilaku mental intuitif manusia untuk menyatakan bilangan, dapat disimpulkan logika matematika bersifat linear dan nyata. Sementara dikubu yang lain yaitu kubu Nominal/Logisisme, menyatakan bahwa konsep matematika  berbasis pada logika, dapat disimpulkan logika matematika bersifat relative, bisa nyata atau abstrak.

Perdebatan kedua kubu tersebut terus berkembang hingga diawal abad 19, Leopard Kroneker ( 1823-1891), menantang kubu Nominal dengan konsep ketakterhinggaan yang dilukiskan didalam bilang real ( Riil ) yang dinyatakan dalam pecahan desimal yang terus memanjang tak terhingga, tantangan tersebut dijawab oleh Richard Dedekin ( 1831 -- 1916 ) dari kubu nominal yang menyatakan bahwa semua operasi matematika dapat direduksi dengan merakitnya dengan pembilang yang lain seperti desimal yg tak terhingga di reduksi menjadi a/b, sehingga sesuatu yang tak terhingga dapat di ekspresikan menjadi sesuatu yg sederhana dan elementer, tak ada yg absolut baginya.

Jika ketiadaan bilangan 1 dalam urutan bilangan berpengaruh pada operasi matematika dan determinasinya seperti yg digambarkan oleh Kroneker, maka dapat dimaknai bahwa sebuah peristiwa dibelahan bumi tertentu mempengaruhi peristiwa di belahan bumi yg lain.

Misalnya mega letusan gunung tambora ( 1815 ) menyebabkan bumi mengalami musim dingin berkepanjangan dan menyebabkan gagal panen serta bencana kelaparan di benua Asia, Eropa dan Amerika, selanjutnya peristiwa vukanik ini menutup kampanye militer Napoleon dengan kekalahan di Waterloo pada 18 Juni 1815, hal ini disebabkan ketiadaan logistik pangan bagi pasukan serta arteleri terlambat terdorong ke front depan karena hujan dan lahan yg basah.

Demikian juga di masa kini, Ketika Uni Soviet runtuh melahirkan kekuatan baru di dunia, alih alih amerika yg mendominasi aras peradaban justru Republik Rakyat China menjadi kekuatan yang mengimbangi Amerika,  dan ketegangan baru saja dimulai, seperti yg digambarkan oleh Samuael Hutington ( 1927-2008 ) didalam naskah "the clash of civilitation".

Namun, jika ketiadaan bilangan 1 tidak berpengaruh pada  operasi matematika dan determinasinya, maka dapat dimaknai bahwa sebuah kejadian berdiri sendiri dan tunduk pada hukum kejadian entitas berada, seperti yang digambarkan secara cermat dan hati hati oleh Fisikawan termashsyur Albert Einstein ( 1879 -- 1955 ) sejalan dengan Sthepen Hawking ( 1942 -- 2018 ).

Misalnya, di Indonesia Perayaan Hari raya Idul Fitri demikian syahdu dan gempita ,sementara diwaktu yang sama orang di Canada yg sedang menjalani kehidupannya seperti hari biasanya. Demikian juga bencana kelaparan di Sudan, sementara Sebagian orang di Indonesia sedang asyik masyuk mengutuki rezim di media sosial.

Di sisi lain perdebatan liniearitas dan relativisme, ditengahi oleh Leon Walras ( 1834-1910 ) konsep keseimbangan matematika yang digambarkan dalam hukum keseimbangan pasar, dimana liniearisme dilukiskan  dalam penawaran maka relativisme dilukiskan dalam  permintaan. 

Penawaran dan permintaan akan bertemu pada satu titik keseimbangan, ketika interaksi keduanya terjadi secara wajar. Kewajaran dalam berinteraksi menjadi aksioma untuk membentuk keseimbangan, misalnya pembubaran ormas fundamentalis dapat dihindari jika faksi faksi oposisi dan koalisi dapat  berdialog secara wajar. Keputusan pembubaran disatu sisi mincederai demokrasi dan disisi lain memenangkan stabilitas.

Tentunya kondisi ini masih jauh dari titik keseimbangan, karena keduanya masih dalam kordinat ekstrim dalam skala kartesian, sehingga dapat diprediksi gelombang resistensi akan terus bergelora sebagai aksi yang wajar dan akan melahirkan reaksi sebaliknya hingga terbentuknya keseimbangan baru seperti yg dijanjikan oleh Leon Walras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun