Mohon tunggu...
Fahimatul Fikriyah
Fahimatul Fikriyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

tertarik menekuni bidang jurnalistik, fashion, sejarah, dan seni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kolonialisme dan Gundik Pribumi

10 Juni 2022   23:45 Diperbarui: 11 Juni 2022   14:12 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gundik pribumi dan keluarga blasterannya

Indonesia adalah negara yang kaya akan Sumber Daya Alamnya yang melimpah serta memiliki tanah yang subur yang dapat ditumbuhi berbagai macam tanaman dan juga rempah-rempah yang menjadi komoditas. Karena alasan inilah kemudian para Bangsa eropa mulai perlahan tertarik dan datang ke Indonesia secara bertahap. Mayoritas dari para pelayar tersebut berjenis kelamin laki-laki dan Banyak dari mereka yang datang dengan kondisi perjaka atau tidak membawa serta keluarganya. Salah satu koloni dari bangsa eropa yang datang ke Indonesia adalah bangsa Belanda. Bangsa belanda adalah salah satu penjajah yang datang ke tanah Indonesia dan dianggap sebagai penjajah paling lama yang tinggal dan menjajah Indonesia 350 tahun lamanya. Mereka mulai datang pada tahun 1596 di Banten dan dibawah komando Cornelis de Houtman.

Pada awalnya mereka diterima dengan tangan terbuka oleh para rakyat setempat sebelum mereka menginvasi semua aspek yang ada di Indonesia, bahkan beberapa tindakan yang mereka lakukan dianggap sadis karena didasarkan pemikiran bahwa orang kulit putih jauh lebih unggul dibandingkan penduduk setempat, sehingga tak ubahnya para pribumi dianggap sebagai budak yang dapat diperlakukan sesukanya. Hal ini juga berdampak terhadap para wanita pribumi.

Pada jaman penjajahan Belanda, banyak sekali warga negara Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan hanya bekerja di ladang ataupun dilaut yang semuanya masih menggunakan alat dan juga cara yang tradisional serta masih bergantung terhadap bagaimana kondisi alam saat itu. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan masih belum berkembang dan tidak semua orang dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang layak.  Dan pada akhirnya, para remaja yang berasal dari desa, baik laki-laki maupun perempuan, biasanya akan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, dengan harapan dapat memperbaiki finansial keluarga di desa. Mereka mengadu nasib pada para tuan-tuan tanah atau majikan yang berasal dari Eropa maupun orang-orang yang berkulit putih yang tinggal di kota, dengan harapan mereka akan mendapatkan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Namun siapa sangka bahwa mengadu nasib ke kota adalah pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Banyak dari  mereka yang malah mendapatkan kesulitan dan juga ketidaknyamanan saat bekerja kepada para tuan mereka. Biasanya mereka akan mendapatkan pekerjaan kasar yang memakan banyak tenaga dengan upah minim dan tidak sepadan. Para laki-laki akan diarahkan menjadi kuli angkut di perkebunan teh maupun pekerjaan kasar lainnya. Sedangkan para perempuan biasanya disuruh menjadi pembantu rumah tangga yang bertugas mengurus majikan, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya.

Namun, disatu sisi, ada kisah kelam yang dialami oleh para perempuan yang dipekerjakan menjadi pembantu rumah tangga. Mengapa demikian? Pasalnya, dalam mengerjakan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, para perempuan ini juga disuruh untuk mengerjakan 'hal lain' yang tidak sepantasnya dilakukan atau diperintahkan oleh para tuan kepada para bawahannya. Dari sinilah kemudian muncul istilah gundik atau praktik pergundikan.

Gundik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti istri yang tidak resmi, selir, perempuan piaraan atau bini gelap. Dari arti gundik tersebut semuanya melibatkan wanita dan perempuan muda dalam praktik pelaksanaannya. Hal ini mulai banyak dijalankan oleh para majikan atau tuan tanah yang memiliki beberapa pembantu di rumahnya. Mereka yang terpilih sebagai gundik majikan, akan 'diangkat derajatnya' dan akan disebut dengan 'nyai' yang kemudian bertindak selayaknya pembantu rumah tangga dan juga istri dari majikan tersebut. Para nyai ini juga akan bertanggung jawab terhadap hasil hubungannya dengan sang majikan atau tuan, sehingga akhirnya tindakan ini memunculkan kelas sosial yang baru yakni, orang indo (orang-orang blasteran).

Para tuan juga akan memperlakukan wanita-wanita gundik ini selayaknya PSK (pegawai seks komersial) atau selir  yang dapat digunakan secara bebas tanpa ada batasan waktu jam kerja. Hal ini tidak hanya terbatas bagi wanita yang belum menikah saja, namun juga pada wanita yang sudah menikah. Para tuan ini tidak akan mempermasalahkan apakah pelayannya ini sudah menikah atau belum, yang terpenting adalah bagaimana nafsu syahwat mereka dapat tersalurkan. Apabila para nyai atau para perempuan pembantu rumah tangga ini menolak atau malah tidak mengerjakan tugas yang diberikan kepada mereka , maka mereka akan dihukum sesuai dengan keinginan dari sang tuan dari perempuan tersebut.

Hal ini dibuktikan dengan salah satu literatur yang menyebutkan bahwa pernah ada seorang yang lewat di suatu perkebunan, kemudian ia mendengar suara erangan perempuan yang sangat keras, sehingga ia mencari sumber suara tersebut. Kemudian orang itu akhirnya ke tempat dimana suara itu berasal dan ternyata erangan tersebut berasal dari seorang wanita yang disalib dengan kondisi telanjang bulat dibawah terik sinar matahari. Selain itu, di kemaluannya juga diolesi cabai spanyol yang sangat  pedas. Hal ini ternyata dilakukan sebagai tindakan hukuman dan pendislipinan terhadap pegawai-pegawai yang tidak menurut terhadap perintah majikannya.

Selain itu, alasan mengapa para wanita pribumi banyak dijadikan gundik ialah karena kelangkaan wanita yang berasal dari Belanda juga, karena mayoritas para pelayar yang datang hanya melakukan perjalanan seorang diri tanpa membawa serta keluarganya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan iklim dan suhu yang sangat berbeda antara Belanda dan Indonesia yang notabenenya adalah negara beriklim tropis. Dan karena hal ini, para perempuan yang sesama Belanda menjadi sangat langka, sehingga para penjajah Belanda ini akhirnya menggunakan perempuan pribumi untuk menggantikan istri mereka dalam jangka waktu yang pendek dan hanya sementara karena hubungan yang mereka jalankan adalah hubungan gelap dan untuk memuaskan nafsu mereka.

Dikarenakan alasan ini, para wanita pribumi yang awalnya pergi ke kota untuk mengadu nasib dengan tujuan memperbaiki perekonomian keluarga di desa, malah digunakan sebagai pemuas nafsu para penjajah yang akhirnya membuat kata'nyai' pada masa itu dikonotasikan dengan hal-hal yang negatif.

Dan pada kesimpulannya, sistem pergundikan ini tak ubahnya seperti pemerkosaan dan tindakan prostitusi yang terstruktur yang dikemas dalam istilah yang seakan membuat derajat wanita terangkat. Dampak dari adanya sistem gundik ini ialah para wanita banyak yang melahirkan anak hasil hubungan gelap tersebut, rasa trauma karena merasa tertekan akan hal tersebut, serta dijauhi dan juga dianggap menjijikkan oleh banyak orang karena sebutan 'nyai' yang mereka sandang selalu dikonotasikan dan disamakan posisinya sebagai pelacur atau istri selingkuhan yang hanya bertugas memenuhi kebutuhan seks para penjajah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun