Mohon tunggu...
Fahrus Refendi
Fahrus Refendi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Tak usah bergelagar, hujan yang membuat bunga tumbuh, bukan halilintar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lalampan Salawat Pengantar Rindu

9 Desember 2019   12:23 Diperbarui: 9 Desember 2019   12:55 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bapaknya meninggal sejak ia masih orok. Ia melanjutkan episode kehidupan dengan Ibu dan nenek di pinggiran laut yang berhalaman tambak garam.

"Kau harus melanjutkan sekolahmu ke kota biar jadi orang pintar!" ketus Maryati pada hari yang mulai jingga

"Entahlah," jawab Arif dengan suara lirih. Keinginan meneruskan sekolah sudah tertanam sejak jauh-jauh hari di ceruk hatinya. "Jika aku ke kota siapa yang akan bantu Embu'[1]  disini?," lanjutnya

Keduanya diam. Biduk-biduk melambai-lambai di bibir pantai. Mewakili hati anak yang terombang-ambing ingin merasakan belas-kasih dari orang tuanya.

"Ada harapan dari bapakmu yang harus Embu' tunaikan, Rif!" ucap Najia, ia mengingat kejadian dulu ketika diusia tujuh bulan kandungan diadakan selamatan pelet betteng[2], yang mengharuskan calon ibu dan anak dimandikan bersama-sama di halaman depan rumah. Sejak prosesi sakral itulah, Jamal  berpesan sambil jongkok  mencium perut Sulastri, bahwa ia akan memberikan pengajaran pendidikan yang paling baik untuk anaknya itu. Namun manusia hanya bisa berencana. Selebihnya Tuhan yang berkehendak. Tepat seminggu sebelum kelahiran Arif, Jamal berpulang ke rahmatullah. Karena kapal yang ia tumpangi oleng oleh ombak besar saat melaut.

Kelahiran Arif membuat para tetangga tersedu-sedu, ia yatim selama masih dalam kandungan. Piatu saat pertama kali melihat gemerlap dunia. Tidak tau raut muka kedua orang tuanya sama sekali, Cuma Embu' bilang dulu, bahwa Arif mewarisi muka ibunya, sedangkan sifat yang tidak mudah menyerah turun dari bapaknya.

Suara pintu dibuka secara kasar lalu ditutupnya dengan cara kasar pula mengagetkan Embu' yang membersihkan lorjhu'[3] dihalaman belakang. 

"Kamukah itu, Rif?" dengan suara serak, Embu' langsung berdiri bergegas masuk ke dalam rumah. Wajah boleh keriput, namun tangan dan kakinya yang masih kuat memaknai sisa hidup yang diberikan Tuhan untuknya. Sejurus kemudian, Embu' mendapati Arif telah telungkup dengan seragam yang masih menempel ditubuhnya. Perlahan Embu' mendekati anak yatim piatu itu. Duduk disampingnya, terdengar tangisan dengan suara yang terbata-bata.

"Ada apa,?" Embu' melontarkan pertanyaan. Suara tangisan makin menjadi-jadi. "Ada apa, Rif? Cerita sama Embu'!" lanjutnya    

Usapan halus ke kepala Arif sedikit melirihkan tangisannya. "Duduklah!" ucap Embu'. Wajah Arif masih diselimuti kabut  hitam. Keduanya bersitatap. Gemuruh suara guntur sesekali memekikkan telinga. Cahaya kilatan petir di tengah laut membuat ciut nyali pelaut. Angin menerbangkan dahan daun tinjang yang mulai menguning.  

"Bapak dan Ibu meninggal karena aku kan, Bu'?" pertanyaan itu sontak membuat Najia kaget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun