Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kupas Tuntas Hukum Memandang Lawan Jenis dalam Islam

22 Februari 2020   04:09 Diperbarui: 18 Agustus 2020   03:23 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dita, gadis Bandung sang pelipur lara. Dia satu-satunya "sahabat" yang selalu berada di dekatku ketika aku membutuhkan seseorang untuk mendengarkan keluh-kesahku. Kala itu, kita berdua pergi mengunjungi salah satu bukit di Mesir tepatnya di daerah Muqaththam, biasanya sih orang Mesir menyebutnya Jabal Muqaththam.

Kita duduk berdekatan di atas batu besar sambil melihat senja yang bertransformasi menjadi malam. Wajah indah yang kutatap kala itu, dan senyum manis yang membuat dunia ini seakan berhenti berputar, tak dapat kugambarkan dengan kata-kata ataupun frasa.

Wajah manis yang selalu tersenyum itu, selalu membuatku melupakan pelbagai macam masalah dalam hidupku, sampai-sampai, tiada satu katapun dari ucapannya yang terekam di dalam memoriku, yang kuingat hanyalah senyumannya yang begitu menawan.

Sontak, khayalanku pun kabur dengan satu pukulan dari tangannya yang lembut di kepalaku, seraya berkata, 'Riyan !, jangan kamu terus-terusan memandangiku seperti itu ah !, nggak boleh tau Yan, dosa.' Akupun berujar, 'Bukannya yang nggak boleh itu memandang perempuan yang dibarengi sama syahwat yah Dit ?, syahwatku nggak terumbar kok pas mandangin Kamu Dit, yang kurasakan ini cinta Dit, cinta !. Hanya keindahan dan rasa bahagia yang selalu hadir ketika kutatap wajahmu seorang.' Pipi Dita pun seketika memerah dan tersenyum semeringah mendengar ucapanku tadi. TAMAT.

Apakah ucapan Riyan di atas benar, lantas spontan kita amini ?, ataukah para ulama memiliki pendapat dan argumentasi lain menyangkut hukum memandang wanita yang bukan mahramnya seperti ilustrasi di atas ?. Saya akan membahasnya secara tuntas sebagai berikut.

Memang, ada beberapa riwayat yang berbicara menyangkut larangan memandang wanita yang bukan mahramnya ataupun sebaliknya seperti:

  • Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah menjawab, "Janganlah ia memandang laki-laki dan jangan ada laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw. menciumnya seraya berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan dari yang lain)." Kualitas hadis ini akan dibahas di bawah.
  • Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya pernah berada di sisi Rasulullah saw. dan di sebelah beliau ada Maimunah, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang menghadap. Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab. Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian daripadanya !." Lalu kami berkata, 'Wahai Rasulullah bukankah dia tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami ?." Beliau menjawab, "Apakah kalian juga tunanetra ?. " Bukankah kalian dapat melihatnya? " (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) imam Tirmidzi menilai kualitas hadis ini Hasan Sahih.

Kita tidak lupa, bahwasannya Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya:

  • "Masa Suci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang mereka tidak ketahui." (QS. Yaasin [36]: 36).
  • "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (QS. Adz-Dzariyat [51]: 49).

Berdasarkan ketetapan Allah (sunnah kauniyah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.

Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan dari dan untuknya seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab, secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang diri, walaupun di dalam surga ia dapat makan dan minum secara leluasa.

Seperti yang telah disinggung di muka bahwa tugas dari Allah  (taklif ilahi) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya, seperti di dalam firman-Nya: "...Hai Adam !, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah [2]: 35).

Maka hiduplah mereka di dalam surga bersama-sama, kemudian memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada Allah bersama-sama, turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan tugas-tugas (takalif) Tuhan pun bersama-sama. Seperti firman-Nya: "Allah berfirman, 'Turunlah kamu dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (QS. Thaha [20]: 123).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun