Oleh karena itu, pantas jika kata "tangan" ditakwil dengan "kekuasaan" atau "karunia". Sah juga apabila kata "wajah" ditafsirkan dengan "dzat" . Dan bolehlah menafsirkan "Dia turun ke langit" sebagai kedekatan-Nya dengan makhluk, dan kedekatan makhluk dengan-Nya.
Bahasa mencakup penafsiran-penafsira ini. Kata-kata itu meliputi arti-arti ini. Apa yang dilakukan teolog kalam tentu lebih baik dari pada menafsirkannya secara tekstual dan tidak mengetahui kaifiat/tata cara-nya. Seperti pernyataan mereka; Allah memang mempunyai tangan, tetapi tidak seperti tangan makhluk. Atau, Allah memang turun, tetapi tidak seperti turunnya kita, dan sebagainya. Dengan begini kita tidak dapat memahami substansi dan akibatnya. Mungkin saya akan membahasnya lebih rinci dan jelas pada tulisan berikutnya.
Namun apabila kita menafsirkannya dengan makna yang sesuai bahasa dan tidak asing, tentu kita bisa mencapai sesuatu yang mengandung unsur tanzih (menyucikan Tuhan dari segala macam kekurangan), juga tidak ada yang tidak jelas.
Jadi, inilah polemik yang terjadi di kalangan para teolog kalam dan fikih sejak dulu. Yang berpandangan tidak perlu ditakwilkan, seperti Wahabiyah, itu hak mereka. Akan tetapi, mereka tidak berhak memaksakan pendapat kepada orang lain, apalagi menyalahkan. Sejatinya, tidak adanya pengakuan dari kalangan wahabi tentang disyariatkannya berbeda pendapat inilah yang memperlebar jurang pemisah di antara mereka dengan kelompok Ahlu Sunnah wal jamaah yang lain. -Allah A'lam-.
Daftar Rujukan:
1. Buku: Mausu'ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-'Alam al-Islami, Karya: Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam, Penerbit: al-Majlis al-A'la' li as-Syu'un al-Islamiyyah, Kairo.
2. Buku: as-Shawa'iq al-Ilahiyyah li ar-Radd 'ala al-Wahabiyyah, Karya: Sulaiman Bin Abdul Wahab an-Nejedi, Penerbit: Maktabah al-Qahirah, Kairo.
3. Buku: Ta'wil as-Salaf li Shifatillah Ta'ala, Karya: Dr. Muhammad Rabi' Muhammad Jauhari, Penerbit: Maktabah al-Iman, Kairo.