Mohon tunggu...
Fahrurozi Umi
Fahrurozi Umi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.

Penulis pernah menempuh pendidikan Sekolah Dasar di MI al-Khairiyyah, Panecekan. Dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama di Mts al-Khairiyyah, Panecekan. Kemudian meneruskan jenjang studi di Pondok Pesantren Modern Assa'adah, Cikeusal. Dan penulis lulus dari Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Substansi dan Polemik Dakwah Wahabiyah

10 Oktober 2019   04:43 Diperbarui: 10 Oktober 2019   10:47 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.republika.co.id

Di sana sikap Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan para pengikutnya terhadap tasawuf mendapat beragam reaksi yang tidak mungkin disebutkan di sini satu persatu. Barangsiapa ingin mengetahui lebih jauh, bisa ditelisik lewat catatan referensi dan footnote. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan, tidak sedikit juga ulama yang tidak suka pada sikap orang-orang Wahabi terhadap filsafat secara umum.

Syaikh Abdul Muta'al ash-Sha'idi berkata, "Karakter dakwah Wahabiyah itu dipengaruhi oleh karakter dakwah Ibnu Taimiyah. Dan dakwah Ibnu Taimiyah antipati terhadap filsafat dan ilmunya. Ini kekuarangannya. Akan tetapi, dakwah Wahabiyah jauh lebih berbahaya. Sebab, di masa Ibnu Taimiyah, filsafat yang berkembang masih filsafat klasik, sehingga tidak banyak bernilai di dalam kehidupan praktis. Sementara itu, filsafat di masa Wahabiyah adalah filsafat praktis yang nyata manfaatnya bagi kehidupan. Oleh karena itu, bagi sebuah gerakan dakwah perbaikan (ishlah), tidaklah pas apabila menampik dan acuh tak acuh pada manfaat filsafat."

Polemik Takwil

Masalah ketiga yang disebut-sebut menjadi konsentrasi dakwah Wahabiyah adalah soal penolakan mereka terhadap takwil al-Qur'an dan as-Sunnah.

Ayat-ayat yang berbicara tentang dzat dan sifat Tuhan mereka biarkan sesuai teks yang ada. Sebagai contoh, terkait firman Allah: "...Tangan Allah di atas tangan mereka." (Al-Fath: 10), mereka berkata, "Allah memang mempunyai tangan, tetapi tidak seperti tangan manusia. Dan, terkait firman Allah: "Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal." (Ar-Rahman: 271), mereka berkata, "Allah memang mempunyai wajah, tetapi tidak seperti wajah manusia." Dan, terkait firman Allah: "...dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas singgasana." (Thaha: 5), mereka berkata, " istiwa' itu diketahui benar adanya, tetapi bagaimananya tidak diketahui."

Jika mereka menerima pendapat ini, memercayai, dan menjaganya untuk diri sendiri, tentu tidak akan berbahaya apa-apa.

Persoalan ini memang masih diperdebatkan para ulama. Bahkan, lmam Ahlu Sunnah wal Jamaah setelah terpisah dari Mu'tazilah dan berselisih pendapat dengannya, menilai pendapat ini bersumber dari Imam Ahmad bin Hanbal. Ia dianggap sebagai imam terkemuka dan alim yang Punya pemahaman. Akan tetapi, ia sendiri meninggalkan pendapat ini dan memilih menakwilkannya.

Maka, kata " tangan" dalam ayat "yadullah fawqa aydihim," ia takwilkan dengan al-qudrah (kekuasaan) dan an-ni'mah (karunia). Sementara itu, kata "wajah" di dalam ayat "wa yabqa wajhu Rabbika dzul jalali wal ikram," ia takwilkan dengan "dzat" , dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam hal ini orang-orang Wahabi menyebutnya berpaling. Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah, yang menegaskan bahwa madzhab salaf menetapkan semua yang dibawa Al-Qur'an, mulai dari tahtiyyah (bawah), fauqiyyah (atas), wajah, tangan, istiwa, mahabbah (cinta), bughdh (kebencian), dan sebagainya.

Syaikh Muhammad Abu Zuhrah berkata "Apakah ini benar-benar mazhab salaf ?." Untuk menjawab pertanyaan ini kami katakan: "Sebelumnya, di abad ke-4 Hijriyah, Hanabilah mengklaim sebagai mazhab salaf. Kala itu para ulama mendebat mereka. Menurut Hanabilah, pendapat itu bisa menyeret pada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan tajsim (memfisikkan Tuhan). Bagaimana tidak, sedangkan isyarat inderawi seperti, melihat, mendengar, dll, diperbolehkan. Oleh karena itu, Imam Al-Hambali menentang al-Khathib Ibnul Jauzi. Ia menolak menyebutnya mazhab salaf, juga menolak menyebutnya madzhab Imam Ahmad."

Lebih jauh lagi, Syaikh Muhamamd Abu Zuhrah berkata, "Di sini kita harus ingat, mengklaim pendapat ini sebagai madzhab salaf harus dikritisi. Kami sependapat dengan Ibnul Jauzi ketika pendapat itu merebak di masanya. Akan tetapi, kami harus melihat dari sisi yang lain yaitu sisi bahasa. Allah berfirman, "Tangan Allah di atas tangan mereka." Dan Dia berfirman, "Setiap sesuatu akan musnah, kecuali wajah-Nya." Nah, apakah ungkapan-ungkapan ini dipahami bermakna inderawi, atau mengandung pemahaman lain yang pantas bagi dzat Allah ?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun