Keesokan pagi aku sudah tiba di kantorku, kulihat Ziza masih tertidur di pos jaga. Pak Bahri memberi isyarat agar aku tak menggangu tidur Ziza.  Setelah selesai absensi aku kembali kepos jaga. Pak Bahri membuatkanku kopi dan kami duduk disamping pos.
  Tak lama kemudian Ziza bangun. Aku dan Pak Bahri mencoba mencari petunjuk mengenainya. Ziza hanya menjawab pertanyaan kami dengan menggeleng atau mengangguk. Tiba - tiba ia bertanya
   "Bolehkah aku tidur di sini lagi malam ini?" Matanya meyorot kepada Pak Bahri dengan penuh harap, Pak Bahri tak menjawab, namun ia hanya menggeleng kepadaku.
"Ziza pasti punya keluarga, mungkin dia hanya butuh waktu untuk bisa ingat lagi dimana keluarganya, engkau bawalah pulang dulu, rawatlah dia dengan baik. "
  Aku tak punya pilihan, tak mungkin Boss besar akan mengizinkan Ziza tinggal disini, aku terpaksa membawanya pulang. Aku berharap istriku mempunyai empati yang sama sepertiku.
  Aku menawarkan Ziza pulang ke rumahku, ia mengangguk, lalu memberikan selembar foto yang sudah kumal. Tampak foto Ziza yang masih balita digendong seorang laki-laki, namun sangat jelas foto itu disobek secara kasar oleh pemiliknya.
  "Ini Ayahmu?"  Sekali lagi Ziza mengangguk.
  "Dimana Ayahmu sekarang? Apakah masih hidup?"
  Ziza menggeleng, "Sudah meninggal bulan puasa kemarin."
  "Dimana Ibumu?"
  "Aku tak pernah bertemu dengannya."