Mohon tunggu...
Fahrul Rozi
Fahrul Rozi Mohon Tunggu... Penulis - Saya adalah seorang pembelajar yang ingin tahu banyak hal

Aku berkarya maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bersyukur Ekuivalen dengan Berbahagia

25 Februari 2020   10:11 Diperbarui: 25 Februari 2020   10:22 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
I'm so thank you God ! | medium.com


Banyak orang di dunia ini yang hidupnya bergelimang harta namun tak bahagia. Banyak orang yang memiliki segalanya, namun tak membuatnya terhormat. Lalu apa esensi hidup ini? 

Artikel yang penulis buat sifatnya adalah kontemplatif, artinya setiap pembaca dapat menafsirkan secara berbeda-beda. Ada yang (mungkin) meng-afirmasi, dan ada pula yang menyangkalnya. 

Baik, mari kita jawab pertanyaan diatas, berbicara mengenai esensi hidup,  sebetulnya kita tak perlu muluk-muluk ingin ini, ingin itu dan seterusnya. Justru dengan banyak keinginan, orang akan merasa resah, orang akan merasa kecewa. 

Pasalnya, banyak orang hidup pikirannya cenderung ultra-idealis, dimana ajaran hidupnya berisi pokoknya... Pokonya dan pokoknya... Sehingga kadangkala ia melupakan proses  yang sebenarnya lebih penting daripada tujuan (Tan Malaka). Manakala ia terlarut dalam tujuan, ia lantas mengabaikan sesamanya, ia bertindak egois, ia menghalalkan segala cara. 

Padahal kalau menurut David Hume itu, kesan sendiri yang kemudian mendahului gagasan. Ketika ide lahir, justru diakibatkan oleh kesan. Sehingga alangkah baiknya bagi kalian yang memiliki cita-cita atau harapan, mari kita melihat kanan-kiri kita, jangan sampai kita mengabaikan sesuatu yang sesungguhnya penting bagi tujuan kita. 

Berkaca daripada pengalaman, bahwa pertemanan itu adalah segalanya. Rasanya tak enak pintar sendiri, rasanya tak enak cerdas sendiri, sehingga pada akhirnya orang cerdas pun kesepian dan memilih untuk hidup bersosial. Sebagaimana yang dikatakan dalam banyak literatur ilmu-ilmu sosial, bahwasannya diucapkan secara berulang-ulang bahwa manusia adalah makhluk sosial. 

Namun tak sampai disitu, manusia pun kadangkala membutuhkan waktu untuk sendiri. Maka tak jarang pasangan yang sedang "marahan" salah satu dari mereka meminta untuk ditinggalkan sejenak. Tujuannya apa? Untuk menjernihkan pikiran... Sebab dalam keadaan marah, kemudian seseorang membuat keputusan, maka nantinya orang itu sendiri akan menyesal terhadap keputusan yang ia buat dimasa lalu. 

Lalu mengapa panjang lebar kita membahas ini? Tentu ada kaitannya dengan judul diatas. Maka kita selalu saja memiliki ambisi, menginginkan ini, menginginkan itu. Padahal apa yang kita miliki sekarang merupakan apa yang orang lain diluar sana ingin miliki. 

Kita terkadang lupa, mengapa hidup "gini-gini aja?" Kenapa gak berubah? Rata-rata orang kan berpikir seperti itu. Lalu segala usaha dilakukan olehnya. Kalau kata Patrick Star itu "apa yang kau cari?" Nampaknya kita harus merenungi apa yang dikatakan oleh Patrick Star tersebut, sebab apa sih yang sebenarnya kamu cari, kita cari, dan semua orang dari dalam hidup ini? Kekayaan? Materi? Kecantikan? Ketampanan? Atau apa? 

Ada tidak sih yang lebih mulia dari itu selain daripada bersyukur? Banyak tidak sih orang-orang yang masih saja hina walaupun dia kaya, cantik, tampan misalnya? Secara empiris banyak, namun kita dalam memahami hidup ini harus disesuaikan dengan kebutuhan kita. 

Gaji kecil, ingin ini ingin itu, sehingga bermuara pada "hutang." Sehingga potret negeriku yang masyarakatnya konsumtif ini sangat hobi sekali membeli perabotan yang sebenarnya tidak masuk dalam skala prioritas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun