Siapa yang tak mengenal kereta api? Transportasi ini merupakan transportasi yang sangat familiar bagi masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa dan Sumatera. Transportasi ini berbeda dengan transportasi lainnya. Mengapa? Karena transportasi ini memiliki jalan sendiri bernama "rel." Ya . . . Tentu saja rel adalah jalan yang digunakan oleh kereta api dalam rangka menghubungkan antara kota satu dengan kota yang lainnya.Â
Penumpang yang hendak naik transportasi ini, harus memesan tiket di loket. Namun karena perkembangan teknologi, hal tersebut dapat diantisipasi oleh pemesanan tiket secara online. Hingga tiba pada waktu keberangkatan, calon penumpang harus menunggu di peron untuk menunggu datangnya kereta api.
Baik, mungkin itu gambaran umum tentang kereta api. Sekarang kita akan memusatkan perhatian kita kepada tema sentral yaitu "Filosofi Cinta Perspektif Rel Kereta Api." Secara empiris, kita melihat bahwasannya rel kereta api adalah dua garis sejajar yang tak berpotongan. Sehingga kendatipun kita tiba pada ujung rel tersebut (di stasiun Jakarta Kota misalnya) maka akan tetap tak bersatu. Nah, itulah yang kemudian disebut sebagai tak berpotongan.
Lalu jika kita tarik fakta empiris menuju filosofi cinta, maka akan dideskripsikan seperti ini "rel kereta api melambangkan dua orang kekasih atau sepasang kekasih yang sedang memadu kasih, namun mereka tak kunjung bersatu karena perbedaan." Sehingga kendatipun mereka beriringan, namun mereka tak pernah bersatu layaknya rel kereta api.
Sulit dipercaya memang melihat fenomena ini, namun nyatanya ada. Dimana keputusan orang tua yang tak melegitimasi hubungan mereka. Entah disebabkan oleh status sosial, perbedaan budaya, ataupun perbedaan agama. Sehingga, pada akhir cerita, dua sejoli itu harus menerima takdir bahwa mereka tak dapat bersatu. Sehingga karena hubungan yang demikian, dapat penulis ilustrasikan atau analogikan sebagai "filosofi cinta rel kereta api, beriringan namun tak pernah bersatu."