Mohon tunggu...
Fahrul Rizal bin Iskandar
Fahrul Rizal bin Iskandar Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah Kuno

Dilahirkan dan menyelesaikan pendidikan sampai lulus SMA di Banda Aceh, melanjutkan pendidikan S1 Teknik Perminyakan di Yogyakarta kemudian memperoleh kesempatan kembali ke Banda Aceh untuk menyelesaikan S2 Ilmu Ekonomi dengan beasiswa Bappenas. Peminat sejarah peradaban manusia, memiliki perhatian khusus pada sejarah peradaban Islam dan Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Butuh "Tangan Tak Terlihat" agar Budaya Agraris Lestari

3 Juni 2019   12:29 Diperbarui: 3 Juni 2019   12:44 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sawah Pembenihan. Foto: dokpri

Masyarakat Aceh di Kabupaten Bireuen, khususnya penduduk Kecamatan Peusangan, merupakan secuil dari pada potret masyarakat petani yang roda kehidupannya benar-benar berputar.

Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan sejarah negeri ini dari sejak Orde Lama hingga era reformasi, mungkin tak ada pemerintahan yang tidak mengangkat isu yang berkenaan dengan kesejahteraan petani. Bahkan masing-masing "dinasti" itu seperti saling terkait, dimana era setelahnya memanfaatkan karya era sebelumnya untuk dijadikan solusi isu kesejahteraan petani.

Kilas balik masa Orde Baru, maka teringat kita akan program Koperasi Unit Desa (KUD) yang digadang-gadangkan untuk memberantas praktek rentenir atau dipedesaan disebut sebagai "tengkulak". Ternyata "senjata" yang digunakan Orde Baru itu merupakan warisan dari Orde Lama, karena konsep koperasi itu sudah dimatangkan di era 1950an.

Tradisi rentenir itu sendiri sudah eksis jauh sebelum era kemerdekaan. Konon, para rentenir itu sendiri sebenarnya adalah para juragan bermodal besar. Biasanya praktek ini dilakoni oleh keturunan kaum ningrat yang notabene punya harta warisan yang cukup untuk membeli tanah satu kampung pada masanya.

Rumah Salah Seorang Petani. Foto: dokpri
Rumah Salah Seorang Petani. Foto: dokpri
Tak terkecuali di Aceh, walau pun dikenal kental dengan nilai-nilai Islami, transaksi lintah darat itu tak mampu juga dibendung. Buktinya ada istilah "pade ule" atau padi ular, maksudnya pinjaman padi pada masa tanam  untuk dijadikan benih dengan perjanjian harus dikembalikan dengan jumlah yang berkali-kali lipat. Terkadang akibat praktek padi ular ini banyak rakyat jelata yang terpaksa kehilangan tanah garapannya disita oleh sang jurangan rentenir.

Pantas bila di era Orde Baru praktek lintah darat ini ingin dibasmi, namun ternyata KUD yang diharapkan mampu memberi solusi akan kesejahteraan petani ternyata tak mampu berjalan dengan baik. Sayangnya, hal tersebut merupakan akibat dari terlalu banyaknya intervensi pemerintah melalui kebijakan fiskal pengaturan harga pasar produk komoditi pertanian terutaman harga beras.

Pemerintah Orde Baru memang sukses dengan program swasembada beras tapi kesuksesan itu tak menjadikan petani padi lebih sejahtera. Karena di sisi lain, para pekerja di sektor industri dan jasa akan lebih mudah mendapatkan akses terhadap alat tukar dibandingkan dengan petani padi.

Tanpa disadari, kebijakan intensifikasi pertanian di era Orde Baru memicu penggunakan pestida secara berlebihan, terutama sekali ketika musim hama wereng coklat dan semisalnya. Hal in ternyata membuat petani kehilangan salah satu dari sumber makanan protein mereka yaitu ikan-ikan air tawar yang hidup dalam sawah.

Sebagaimana yang diceritakan oleh generasi pemuda di era 1970an, beliau pernah melihat ikan gabus yang terkelupas kulitnya serta rontok dagingnya perlahan-lahan tapi masih bertahan hidup di dalam areal persawahan penduduk. Itu terjadi ketika pestisida pertama kali diperkenalkan di kampungnya.

Jika sebelum penggunaan pestisida para petani dapat bergantung pada cadangan ikan air tawar dalam sawahnya, maka tidak lagi demikian setelahnya. Mereka terpaksa harus membeli ikan laut yang ternyata cukup membebani pengeluaran rumah tangganya. Akhirnya pertanian padi itu kerap lebih besar pasak dari pada tiangnya.

Masuk ke era reformasi, wajah petani tak terlalu banyak berubah. Tak banyak perubahan berarti disisi orientasi kebijakan pemerintah. Dikutip dari Mongabay, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor [IPB] Dwi Andreas Santosa menuturkan bahwa arah kebijakan pemerintah masih jauh dari cita-cita swasembada lima komoditas: beras, jagung, kedelai, gula dan daging. Orientasi masih terpaku pada peningkatan kuantitas produksi tetapi tetap saja tak menyentuh langsung petani yang sesungguhnya ujung tombak peningkatan pangan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun