Oleh: Fahrudin Alwi[1]
Fenomena tumbuh suburnya majelis dzikir dan majelis ilmu di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya Jakarta dan kota tetangga penyangga Ibukota, merupakan sebuah pertanda dan respon baik masyarakat perkotaan akan Islam. Munculnya perhatian masyarakat kota akan spiritualitas merupakan bagian dari konsekuensi atas teralienasinya manusia dari kehidupannya sendiri sehingga manusia kota merasakan kehampaan dan kegersangan dalam kehidupannya. Urban sufism sendiri hadir dalam upaya memberikan kontribusi membantu masyarakat urban untuk memiliki ketenangan batin di tengah kesibukan keseharian kota yang dilingkupi atmosfer materialistik.
Kecemasan psikologi (psychological anxiety), kerinduan akan spiritualitas (longing for spirituality), kesadaran baru (new consciousness), dan adanya kekacauan dunia (worldy chaos) setidaknya menjadi alasan mendasar bagi masyarakat kota untuk semakin memperbaiki hubungannya dengan Tuhan. Dan beberapa hal di atas pula yang kemudian mendorong munculnya fenomena urban sufism seperti yang dimaknai oleh Jaman Arraisi tentang spiritual healing dalam tradisi Islam.
Urban sufism sendiri mencakup berbagai fenomena pergerakan spiritual masyarakat perkotaan. Kategori urban sufism tidak hanya berfokus pada fenomena tasawuf konvensional seperti yang ditampakkan komunitas Tarekat Qadiriyyah-Naqsabandiyyah, Tarekat Alawiyyah, Tarekat Syadziliyyah, dan berbagai komunitas tarekat lain, namun juga fenomena majelis ilmu serta ritual dzikir--doa yang tidak berbasis tarekat seperti Majelis Dzikir Az-Zikra Ustadz Arifin Ilham, Majelis Doa Ustadz Haryono, Manajemen Qalbu Aa Gym, dan berbagai majelis serupa.
[2] Komunitas lain yang muncul pada masyarakat perkotaan adalah Majelis Ilmu yang disampaikan secara ramai baik melalui pengajian di perkantoran maupun virtual oleh Ustadz Salafy (sebagian menyebut dengan Wahabi) seperti Ustadz Khalid Basalamah, Ustadz Nuzul Dzikri, dan yang lainnya.Â
Komaruddin Hidayat melihat setidaknya ada empat alasan mengapa urban sufism semakin berkembang di kota-kota besar di Indonesia: pertama, sebagai sarana pencarian makna hidup; kedua, menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektualitas; ketiga, sebagai sarana terapi psikologis; keempat, sarana mengikuti trend perkembangan wacana keagamaan.[3]
Dalam konteks pertentangan tasawuf tradisionalis dan modernis, sebuah pemaparan tentang "Sufism and the Indonesian Islamic Revival", ditulis oleh Howell (2011) mengisahkan bahwa tasawuf di Indonesia menghadapi tantangan baik dari kalangan Wahabi maupun modernis.Â
Wahabi menilai bahwa Islam perlu disucikan dari praktik-praktik yang tidak Islami seperti menyanjung makam, tawasul, dan praktik lain yang lazim di kalangan pengikut sufi.Â
Bersamaan dengan itu, dalam pandangan Muslim modernis, tasawuf menjadi salah satu penyebab utama kemunduran peradaban Islam. Kaum modernis berpendapat bahwa dengan ruh rasionalitas Islam dan tanpa aspek 'mistik', Islam dapat melampaui peradaban dunia. Padahal akar pemikiran Islam dan modernisasi masuk ke Indonesia sejak abad ke-17 M (Azra 1999), tantangan kaum modernis terhadap tasawuf ini dilembagakan di Indonesia pada awal abad ke-20 M.[4]
Dalam ruang lingkup berbangsa dan bernegara, moderasi menjadi sebuah titik tengah antara pendapat tradisionalis dengan komunitas konvensionalnya dan modernis yang berfokus pada gerakan penyucian hati tanpa perlu masuk dalam proses bai'at sebagaimana dilakukan oleh komunitas tarekat.Â
Kita harus mengakui bahwa baik kelompok tradisionalis maupun modernis sama-sama memiliki tujuan kebaikan yakni untuk mengisi relung kehampaan dan kegersangan masyarakat kota akan spiritual. Maka, saling menghormati adalah sebuah kunci.Â