Membaca seperti mengobati batin saya. Memang sulit dijelaskan, misal ketika mood sedang jatuh, membaca buku atau novel membuat optimisme kembali bangkit.
Dalam buku itu ada narasi, kisah hidup dan kompleksitasnya, dan itu membuat apa yang saya alami belumlah seberapa. Sesekali ada dorongan spirit untuk bangkit dan optimis.
Anda tahu, bacaan-bacaan saya saat aliyah adalah novel-novel Kang Abik, yang taglinenya adalah novel pembangun jiwa.
Saat itu juga sedang booming tetralogi Laskar Pelangi, yang kita semua tahu apa isinya, tentang motivasi hidup.
Belum lagi ketika saya membaca buku-buku Erbe Sentanu, Ustad Abu Sangkan hingga Ippho Santosa.
Memasuki fase perkuliahan, bacaan saya beralih ke teori-teori kritis atau perubahan sosial. Novel yang saya baca pun juga beragam, seperti Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, lalu beranjak ke novel series Supernova karya Dee Lestari.
Membaca membuat otak kita aktif: mencerna, menelaah, mempertanyakan hingga mengimajinasikan. Membaca serupa permainan dengan alam pikiran kita sendiri, lewat diksi-diksi yang dibuat penulisnya.
Membaca buku seperti berdialog, kadang kita sepakat, kadang juga kita membantahnya. Dialog itu terjadi dalam ruang pikiran kita sendiri.
Jika ada istilah sehat berawal dari pikiran, membaca mungkin salah satu terapinya. Tentu tidak sekadar sehat secara fisik, namun juga sehat secara mental.
Sekarang aktivitas membaca begitu terwadahi, lewat gawai dan sosial media, ada bacaan bermutu yang bisa diakses.
Itu sebuah kenikmatan tersendiri, kegembiraan yang sederhana, kan?
Blitar, 27 November 2021
Ahmad Fahrizal Aziz healing