Setiap manusia yang hidup ditugaskan sebagai pemimpin. Minimal ditugaskan memimpin dirinya sendiri. Kepememimpinan adalah tentang seni memberikan dampak, tentu dengan konsep maupun gaya yang beragam. Tapi, apakah pemimpin hari ini merepresentasikan pemimpin sejati? atau justru pemimpin hari ini hanyalah simbol penguasa dungu lagi kosong dan nihil memberikan dampak positif?
Perlu kita ingat bersama sebagai bangsa Indonesia, kita memiliki banyak sekali nilai-nilai luhur dan mulia yang diajarkan oleh para pendahulu kita, nenek moyang kita. Barangkali kita lupa, kita adalah bangsa yang besar dengan segudang falsafah hidup yang begitu dahsyat. Barangkali hari ini kita mengerdilkan diri kita sendiri, tunduk pada budaya asing dan lupa identitas bangsa sendiri. Budaya kita begitu kaya akan makna. Tinggal bagaimana kemudian kita sebagai anak bangsa, mau tidak membaca dan mempelajarinya.
Dalam kesempatan kali ini, penulis akan berbagi tentang lima prinsip yang harus dipegang pemimpin dalam budaya Jawa. Penulis mendapati hal ini dalam buku berjudul Dharmaning Satriya: Nilai-Nilai Kepribadian dan Kepemimpinan Jawa yang ditulis oleh Wawan Susetya.
Bangsa Indonesia ini terdiri dari beragam suku, salah satunya suku Jawa. Dimana setiap suku pasti memiliki nilai-nilai budaya luhur yang agung nan mulia. Pun suku Jawa, memiliki nilai-nilai budaya yang tidak hanya bersifat primordial, tetapi universal.
Dalam budaya Jawa, terdapat wewarah (nasihat, petunjuk) bagi seorang pemimpin yang juga dianggap sebagai guru harus memperhatikan lima hal berikut:
Pertama, mulat (mengetahui). Artinya bahwa seorang pemimpin diharapkan mampu mengetahui keadaan, latar-belakang, potensi, kelemahan, dan sebagainya dari rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin harus menjadi sosok yang paling paham dan mengerti tentang siapa dan bagaimana kondisi rakyatnya.
Kedua, milala (memberikan pujian, membesarkan hati, mbombongi). Bagi seorang pemimpin hendaknya memberikan sanjungan atau pujian kepada rakyat yang dipimpinnya. Hal ini ditujukan sebagai apresiasi kolektif atas keberadaan dan peranan rakyatnya, sekaligus membangun rasa saling menghargai satu sama lain.
Ketiga, miluta (membimbing, menuntun, mengarahkan). Setelah memberikan pujian, maka sang pemimpin tentu dengan mudah memberikan nasihat kepada mereka. Dengan demikian, program atau pengajaran yang dijalankan akan berjalan dengan baik.
Keempat, palidarma (memberikan teladan yang baik). Bagi seorang pemimpin yang baik, memang memberikan teladan yang baik kepada rakyatnya merupakan sebuah keniscayaan (kewajiban yang harus ditunaikan). Sebaliknya, pemimpin yang citranya jelek, tentu mereka tidak akan disukai oleh rakyatnya.
Kelima, palimarma (memberikan ampunan atau memaafkan). Begitulah sifat pemimpin yang baik, mereka hendaknya selalu membukakan pintu maaf pada rakyatnya. Menyadari betul bahwa rakyat yang dipimpinnya adalah manusia dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaannya.