Mohon tunggu...
Fahrijal Nurrohman
Fahrijal Nurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hey there! I am using Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter: Salah Satu Solusi Masalah Degradasi Moral di Indonesia

29 Juli 2021   12:00 Diperbarui: 29 Juli 2021   12:02 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, bangsa Indonesia tengah menghadapi berbagai problem mulai dari ekonomi, sosial, politik hingga agama. Dan sampai hari ini kita belum mengetahui apa sebenarnya akar dari semua permasalahan tersebut. Apakah itu salah pemerintah? Belum tentu. Apakah itu salah masyarakat yang ada di dalam negaranya? Tidak pasti juga. Akan tetapi, ini adalah tanggung jawab kita bersama dan masyarakat bisa ikut memberikan sumbangsih agar kehidupan generasi berikutnya menjadi lebih baik, salah satunya melalui Pendidikan Karakter.

Dan sudah selayaknya konsep pendidikan karakter tidak hanya tertulis di atas kertas, akan tetapi nilai-nilai luhur yang ada di dalam konsep tersebut juga harus diamalkan oleh peserta didik, bahkan sejak dini. Dan untuk bisa mewujudkan itu semua, tidak cukup hanya diajarkan kepada peserta didik, namun juga harus dicontohkan oleh orang tua dan pengajar.

Perjalanan pendidikan di Indonesia senantiasa mengalami perubahan. Pada era wali songo, dan pendidikan merupakan salah satu pendekatan para wali songo dalam menyebarkan agama Islam. Dan salah satu gagasan para wali songo yang masih bisa dirasakan sampai hari ini adalah keberadaan huruf Arab Pegon yang diprakarsai oleh Sunan Ampel dan memunculkan sistem pengajaran ala pesantren yang mana santri tinggal di pondok dan mengaji disana. 

Kemudian ada RA Kartini, yang senantiasa memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan. Dan dengan pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat, menjadikan dirinya semakin terbuka kepada dunia dan menulis buku yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Bahkan Kartini juga mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra. Lalu juga ada Ki Hajar Dewantara yang biasa dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dengan jargonnya "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani". Menurut beliau, pendidikan itu haruslah bersifat memerdekakan manusia. Beliau juga turut mendirikan Taman Siswa sebagai wadah mewujudkan nasionalisme bagi para pelajar Indonesia.

Begitu juga dengan mata pelajaran yang diajarkan, juga mengalami perubahan. Semakin hari, ada semakin banyak ilmu-ilmu baru yang disuguhkan. Ini merupakan keuntungan tersendiri bagi gen Z. Mereka bisa mengeskplor segala pengetahuan yang mereka minati dan inginkan. Di dukung dengan teknologi yang semakin hari kian canggih, segala informasi yang mereka inginkan bisa didapatkan dengan mudah. Namun, ada hal lain yang penulis rasa kian hari kian hilang dalam jati diri pendidikan di negara Indonesia ini. Dan hal itu adalah adanya degradasi moral di kalangan para pelajar.

Salah satu contohnya adalah kasus tawuran antar pelajar di Surabaya pada tanggal 6 Februari 2021 yang mengakibatkan 1 orang kritis yang berawal dari saling ejek di media sosial facebook (detiknews/09/02/2021), bahkan tawuran pelajar di Sukabumi yaitu pada tanggal 10 April 2021 yang berujung pada tewasnya 1 orang pelajar (detiknews/10/04/2021). Dua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari bentuk degradasi moral yang tengah menimpa para pelajar. 

Lalu apa sebenarnya yang melatar belakangi munculnya degradasi moral saat ini? Sayangnya, salah satu jawaban itu adalah hal selalu melekat pada diri kita. Adalah smartphone salah satu penyebabnya. Dari film dokumenter yang berjudul "The Social Dilemma" yang disutradarai oleh Jeff Orlowski, kita akan tahu bahaya dari penggunaan sosial media pada smartphone jika digunakan secara berlebihan. Mulai dari hilangnya produktivitas hingga bisa menyebabkan perang antar negara hanya karena berita hoax.

Di tengah wabah covid-19 seperti sekarang ini, penggunaan smartphone oleh masyarakat meningkat pesat. Tak lain karena adanya pemberlakuan WFH dan larangan keluar rumah jika tidak ada keperluan yang mendesak oleh pemerintah. Sehingga kantor, sekolah dan kampus pun ikut kena imbasnya dan memberlakukan bekerja dan juga belajar mengajar dengan sistem daring. Sadar atau tidak, hal ini juga sedikit banyak mempengaruhi perilaku manusia sehari-hari. Manusia menjadi semakin sering bergelut dengan smartphone. Sama seperti sebuah uang koin, smartphone juga memiliki dampak negatif jika tidak di gunakan dengan bijak oleh manusia, khususnya bagi pelajar.

Dampak negatif smartphone yang nyata bagi sebagian pelajar adalah maraknya kasus perundungan dan bullying yang terjadi di media sosial. Bahkan tidak sedikit yang sampai menuliskan kata-kata sumpah serapah. Karena memang media sosial adalah tempat yang begitu bebas dan tanpa batas, jadi para pelajar bisa leluasa mengungkapkan segala ekspresinya disana. Dan jika hal ini terus menerus terjadi, maka bukan tidak mungkin pendidikan di Indonesia akan stag, atau bahkan akan mengalami kemunduran dalam hal kualitas. Dengan demikian, penting kiranya bagi orang tua dan pendidik untuk memberikan edukasi akan pentingnya menjaga moral dan etika, baik itu di dunia nyata maupun dunia maya. Dan disinilah peran pendidikan karakter yang bisa diajarkan oleh orang tua dan pengajar.

Pendidikan karakter yang mana mengedepankan kepada pengamalan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari akan lebih terasa manfaatnya bagi lingkungan sekitar, dan terkhusus bagi pelajar itu sendiri. Ada sebuah petuah yang mengatakan, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", sikap dan perilaku dari orang tua dan pengajar pastilah akan ditiru oleh pelajar atau bahkan lebih parah dalam menirunya, maka orang tua dan pengajar haruslah memberikan contoh yang baik kepada para pelajar. Contoh yang paling sederhana adalah memberikan pengetahuan tentang pentingnya toleransi dan saling menghargai satu sama lain, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Karena seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini tingkat toleransi di negara Indonesia mengalami penurunan.

Jadi singkat penulis, pendidikan karakter tidak hanya ditujukan kepada peserta didik atau pelajar, melainkan juga untuk pengajar dan orang tua. Sehingga, pelajar haruslah mendapatkan pendidikan sedini mungking untuk membentuk karakter dirinya di kemudian hari. Dengan demikian, semboyan yang digencarkan oleh Ki Hajar Dewantara dapat terealisasikan dengan sempurna. "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" "Yang di Depan Menjadi Teladan, Yang di Tengah Membangun Semangat, Yang di Belakang Memberikan Dorongan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun