Mohon tunggu...
Fahri Hidayat
Fahri Hidayat Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Kementerian Agama RI, Mahasiswa Program Doktor (S3) UIN, Peneliti di Al Hambra Institute for Islamic Thought and Civilization. Facebook: https://www.facebook.com/fahri.hidayat.3

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Karena Semua akan Indah pada Waktunya

9 Juli 2016   16:59 Diperbarui: 9 Juli 2016   17:09 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat, saat pertamakali menyandang status sebagai mahasiswa pada pertengahan 2007 silam. Saat itu, saya merasa memasuki dunia yang benar-benar baru: lingkungan baru, teman-teman baru, dan – tentunya – atmosfer keilmuan yang baru juga. Singkat kata, saya seperti memasuki wilayah baru yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Apalagi, saya mengenyam pendidikan SMP dan SMA di pesantren yang memang sangat membatasi ruang gerak saya untuk lebih banyak melihat “dunia luar”.

Saat pertama kali mengikuti acara diskusi bersama teman-teman seangkatan dan beberapa kakak kelas di kampus, saya merasa seperti seorang bocah yang tidak paham apa-apa. Saya melihat kakak-kakak angkatan saya begitu memukau dalam menyampaikan gagasan-gagasannya dalam berdiskusi. Seolah-olah mereka mengerti banyak hal. Aura wajah merekapun tampak sangat dewasa dan terkesan intelek.

Semua itu, pada akhirnya mendorong saya untuk belajar agar bisa seperti mereka. Saya bertekad keras untuk membuang sisa-sisa jiwa remaja saya. Saya ingin tampil dan dianggap dewasa, jauh melampaui usia saya yang saat itu baru 18 tahun. Bahkan, saya masih ingat, saya sangat marah ketika ada teman yang menganggap saya masih kecil dan belum dewasa. Intinya, saya tidak senang dianggap masih bocah 18 tahun. Saya ingin dianggap dewasa selevel dengan mereka yang usianya pada kisaran 25 tahun.

Itu penggalan cerita masa lalu. Saat ini, usia saya sudah menginjak 26 tahun, berjalan menuju 27 tahun. Artinya, saya berada di usia yang saya idam-idamkan ketika usia 18 tahun. Apakah dengan begitu saya bahagia? Ya, saya sangat bersyukur dan bahagia atas semua karunia yang Allah beri sampai saat ini. 

Akan tetapi, di usia ini, dengan kesibukan saya dalam pekerjaaan dan setumpuk aktivitas saya sekarang, saya justru merindukan masa-masa saat pertamakali menginjak bangku kuliah. Saya rindu saat belajar di asrama bersama teman-teman, saat nongkrong bareng di angkringan, saat menghabiskan malam dengan canda tawa, dan semua kenangan yang mewarnai hari-hari itu.

Saat ini, karena profesi saya sebagai dosen di perguruan tinggi, saya menjadi terbiasa dipanggil “pak” meskipun usia saya belum sepantasnya menyandang panggilan itu.  Panggilan “pak” pada awalnya memang terasa biasa saja. Toh, itu hanya panggilan formal ketika di kampus. Di luar kampus, saya tetap seorang anak muda, bukan bapak-bapak. Akan tetapi, panggilan itu lama kelamaan – mungkin karena terlalu sering dipanggil “pak”- mengganggu pikiran saya. Saya takut benar-benar dianggap sudah tua. Saya masih ingin tetap muda. Bahkan, saya justru senang jika ada orang yang mengira saya masih mahasiswa semester awal.

Akhirnya saya mencoba untuk merenung. Dulu, saya gelisah karena dianggap masih remaja dan ingin segera menjadi dewasa. Sekarang, saya justru khawatir jika menjadi “dewasa” lebih cepat dari waktunya. Di dalam perenungan itu, akhirnya saya mendapat pencerahan bahwa ternyata esensi bahagia adalah pada saat kita bisa menikmati usia. Kita akan bahagia apabila kita mampu menjalani hari ini dengan fokus pada hari ini, bukan malah ingin menghadirkan hari esok ke hari ini.

Kita tidak akan pernah bahagia jika terus menerus memikirkan “apa yang akan kita lakukan” sehingga justru tidak menikmati “apa yang sedang kita lakukan”. Kita harus benar-benar menghadirkan jiwa dan raga kita untuk menikmati usia kita saat ini. Menikmati dengan selalu bersukur kepada Allah atas karunia-Nya yang tidak pernah terputus, dengan tidak membuang-buang waktu sia-sia, dengan terus menebar manfaat bagi sesama, dan dengan melakukan hal-hal positif lainnya.  Jangan sampai, raga kita ada di sini, namun jiwa kita melayang-layang ke tempat lain.

Semua akan indah pada waktunya. Menikmati pemandangan pantai akan terasa indah jika kita menikmatinya di pagi atau senja hari ketika sang mentari terbit dan tenggelam. Tapi, jika kita dipaksa untuk menikmati pantai pada tengah malam di saat kita seharusnya tidur pulas dan dalam kondisi sangat mengantuk, maka memandang pantai tidak lagi terasa indah, karena bukan pada waktunya. 

Hal paling indah di tengah malam adalah tidur pulas, atau, menggelar sajadah untuk shalat malam dan mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan malah jalan-jalan di pantai. Sekali lagi, semua indah jika pada waktunya. Maka, nikmatilah waktu dan usia kita hari ini dengan penuh kesyukuran. Tidak perlu berangan-angan ingin segera ke masa depan, atau tenggelam dalam penyesalan atau nostalgia masa lalu. ***

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun