Mohon tunggu...
Fahri Ardiansyah
Fahri Ardiansyah Mohon Tunggu... Penulis -

Menulis adalah cara terbaik mengabadikan peradaban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Ujian Nasional Perlu Dipertahankan?

10 Oktober 2018   10:12 Diperbarui: 10 Oktober 2018   10:23 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source foto : megapolitan.kompas.com

Pelaksanaan ujian nasional selalu menjadi hal yang rutin diperdebatkan dalam kebijakan pendidikan di Indonesia. Bagaimana tidak, hasil ujian nasional telah menjadi instrumen penentu kelulusan siswa selama proses belajar tiga tahun. Sesuatu yang acapkali mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan dengan segala kelemahan dan kelebihan didalamanya. 

Selama ini, ujian nasional masih bertindak sebagai standar baku. Tujuannya adalah mengukur pencapaian kompetensi peserta didik dan sebagai tolak ukur pemetaan pendidikan di indonesia. Akibatnya, penerapan standar dibuat seragam dan merata secara nasional, namun disisi lain justru menghasilkan bias kebijakan karena berlangsung di tengah ketidakseragaman.  

Pertanyaannya, apakah ujian nasional benar-benar dapat secara akurat mengukur kompetensi peserta didik dan memetakan persoalan pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan ?. Mengingat pelaksanaan ujian nasional dilakukan tak lebih hitungan seminggu dan hanya mengurai aspek kognitif siswa semata. Oleh sebab itu, perlu kiranya melakukan refleksi kembali, apabila pelaksanaan ujian nasional masih terus dipertahankan sebagai acuan mengukur kompetensi siswa secara keseluruhan, apalagi sebagai indikator kelulusan nasional. 

Harus diakui, mutu pendidikan belum menjadi prioritas pemerintah. Alasan utama mengapa kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia masih terjadi. Dengan kata lain, penerapan UN akan menjadi sangat tidak relevan ketika harus menguji peserta didik antar daerah/wilayah yang memiliki mutu pendidikan berbeda, namun diperhadapkan pada materi ujian yang bobotnya sama. 

Contohnya anak-anak di daerah Papua harus dipersamakan dengan anak-anak di Jakarta dalam UN. Padahal keduanya memiliki sarana penunjang belajar yang berbeda, baik dari segi fasilias belajar, kualitas tenaga pendidik, lingkungan pendidikan dan sebagainya. Hal yang justru menjadikan UN sebagai media berkompetisi yang tidak sehat lagi karena mengabaikan asas keadilan dalam pendidikan. 

Ujian Nasional tidak lagi memberi makna tentang proses belajar sesungguhnya. Pemaknaaan belajar bagi seorang peserta didik sejatinya bukan hanya mesti cerdas secara kongnitif namun terpenting adalah adanya perubahan pada pemahaman, sikap dan tingkah laku dan aspek lain yang ada pada diri individu. Sebaliknya. dengan adanya UN, ketegangan dan kepanikan melanda semua pihak baik pemerintah daerah, pihak sekolah, siswa, dan orang tua siswa. UN telah menjadi momok menakutkan tiap tahunnya. 

Bagi pemda dan sekolah, hasil buruk UN akan berefek pada rapor daerah dan sekolah secara umum, karena angka kelulusan yang tidak tercapai. Nilai yang buruk akan selalu menimbulkan penafsiran bahwa sekolah dan pemerintah dianggap gagal membimbing siswa dengan baik. Sedangkan bagi siswa dan orang tua siswa, kegagalan menembus ujian nasional akan berujung pada tekanan psikologis tertentu. 

Anak yang tidak lulus menjadi hal yang amat memalukan. Menjadi bahan olok-olokan di lingkungannya sepanjang waktu. Hal yang membuat kondisi psikis anak terganggu. 

Belum lagi, tekanan orang tua anak yang merasa malu terhadap kolega, tetangga, dan lainnya manakala anaknya tidak lulus sehingga buntut pelampiasan tertuju kepada anak seorang. Oleh karena itu, UN bukan lagi tentang proses belajar sesungguhnya tapi tak lebih dari sekedar tekanan-tekanan psikis semata.   

Seperti itukah tujuan pendidikan kita ? tentu tidak. Pendidikan kita seharusnya mencerdaskan dan memerdekakan. Kebijakan pelaksanaan ujian nasional mestinya disesuaikan dengan kondisi daerah/lokal. 

Dibutuhkan otonomi sekolah dan daerah bukannya otoritas yang kuat dari pusat. Pengukuran kompentensi pendidikan sebaiknya dilakukan di daerah yang mengetahui persis seperti apa kondisi pendidikan di lingkungannya. Sedangkan pemerintah pusat semestinya lebih fokus pada upaya perbaikan sarana dan prasarana sekolah serta peningkatan kualitas guru dan distribusinya secara merata dan adil di seluruh Indonesia.    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun