Mohon tunggu...
Fahmi Zein
Fahmi Zein Mohon Tunggu... Guru - Muhammad Khafid Zulfahmi Zein

Tidak ada sebuah perjuangan kecuali dengan pengorbanan, dan hanya orang yang rela berkorban dapat disebut sebagai pejuang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Islam sebagai Topeng Politik

28 November 2018   11:49 Diperbarui: 8 Desember 2018   16:02 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Islam adalah agama paripurna dimana dalam pandangan mereka sistem politik dan pemerintahan adalah bagian dari ajaran agama. Al Mawardi menyebut fungsi pemerintahan adalah untuk mengganti fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia. Imam Al Ghazali mentamsilkan agama ibarat pondasi dan sulthan (kekuasaan politik) sebagai penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan Suatu dasar tanpa penjaga akan hilang. Jadi keberadaan pemerintah wajib menurut hukum syari'ah' dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Islam dipercaya yang bersifat holistik. Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu " masyarakat sipil ". Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem " peradaban yang menyeluruh " (Murtahani Arif Sps : 2018)

            Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Pernah menyatakan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, semua masuk neraka kecuali satu. Mereka yang akan selamat adalah yang berpegang pada sunnahku dan jama’ah sahabatku. Kelompok ini kemudian masyhur disebut dengan ahlussunnah wal jama’ah. Orang-orang yang berpegang pada sunnah Nabi dan jama’ah sahabat. Para ulama’ kemudian mengidentifikasi karakter aswaja ini hingga dirumuskan dalam sikap at tawassuth wal I’tidal, sikap moderat dan konsisten. Dan dari perpecahan inilah muncul pemahaman-pemahana baru dan kelompok baru, sehingga sering terjadi pergesekan-pergesekan sosial yang memicu perpecahan dalam agama ini serta peluang politik untuk memanfaatkan kekuatan besar agama ini.[1]

 

Telaah Hermeneutik merekonstruksi pemikiran politik Islam klasik dengan cara memisahkan urusan agama dengan negara, menghangat pada awal abad ke-20. Hal ini dipicu antara lain oleh kebijakan politik penguasa Turki, Mustafa Kemal Attaturk yang menghapus pranata khilafah. Institusi khilafah ini eksis dan menjadi simbol konstruksi politik Islam selama berabad-abad. Kondisi sosial politik yang menyebabkan dilikuidasinya pranata khilafah tersebut antara lain bersumber dari kekalahan Turki Utsmani dalam perang dunia I, disamping obsesi Mustafa Kemal untuk mendirikan negara sekuler. Sejak itu, polemik seputar relasi agama dan negara menjadi wacana hangat yang belum pernah mencapai kata sepakat, hingga saat ini. Bahkan HTI bertekad bulat untuk memberlakukan kembali sistem khilafah dalam Islam.

 

Agama dan Negara adalah dua identitas yang sama-sama berfungsi bagi kehidupan manusia. Jika Negara berada pada dimensi kekinian atau masuk dalam pengaruh kemajuan zaman dan era globalisasi yang sekuler untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka agama berperan pada dimensi religious. Menyeberangkan manusia dari dimensi sekuler menuju kesejajaran, namun dalam realitanya, penerapan sosial politik di Indonesia memiliki dinamika tersendiri. Pada awalnya, agama berdiri agak merunduk di belakang Negaram kemudian bergerak di samping Negara, akhirnya merangkul pundak Negara bahkan bertindak sejajar sebagai Negara itu sendiri layaknya. Jadilah agama sebagai tanduk paling ujung dalam segala aspek permasalahan bangsa yang dulunya plural ini. 

            Elit agama seringkali menjadikan agama sebagai penyambung lidah kepada mesyarakatnya, sehingga orang-orang yang menggunakan agama sebagai tameng politiknya bagaikan nabi “Negara” bukan nabi “rakyat”. Dalam kedudukannya yang serba terkekang kepentingan politik dan kekuasaan, agama hanyalah sebagai topeng yang dapat mengelabuhi siapapun yang melihatnya, bukan sebagai fungsi hakikatnya. 

            Sudah menjadi karakter kaum elit penguasa, mencari dan mempertahankan kekuasaannya. Biasanya upaya-upaya yang dilakukannya melalui intitusi-institusi pembentukan kesadaran misalnya lembaga pendidikan, pengetahuan bahkan agama, untuk mendukung kepentingan mereka dengan dalih untuk kepentingan umat, padahal untuk menancapkan kebijakan-kebijakan mereka agar terkesan agamis dan tetap melaksanakan nasehat para ulama. 

            Agama memang memiliki pangaruh yang luar biasa di Indonesia, karena Negara ini berdiri dan merdeka tidak lepas dari peran Agama, khususnya Agama Islam dalam perwujudan tatanan Negara, dasar Negara, cita-cita Negara, hukum tata Negara. Sehingga jika ada yang bergerak bernafaskan agama, pastilah semua dalil pembenaran dari apa yang dia lakukan sudah dipersiapkan sebelumnya, sebagai tameng yang dapat melindunginya tatkala ada pihak yang tidak sependapat dengannya. 

            Dalam hal ini, otoritas tidak lebih dari sebuah topeng kekuasaan, semua justifikasi dan legitimasi dari aturan penguasa elit atas izin yang dimanipulasi dari yang dikuasai, merasionalkan hal-hal yang diputuskan sesuai dengan ajaran agama. 

            Agama yang dikenalkan dalam masyarakat saat ini, khususnya Agama Islam bagaikan Negara dan system pemerintahan yang berhak mengatur dengan otoriter sesuai dengan syari’atnya, padahal Agama Islam sebelumnya adalah pemersatu bangsa, penasehat bangsa, penyelamat generasi, bukan sebagai perusak ketenangan yang ada, pendobrak persatuan, perusak budaya yang menjadi citra Indonesia.[2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun