Kematian adalah peristiwa yang tak terelakkan, tetapi bagaimana manusia meresponsnya sering kali menjadi cermin keyakinan, budaya, dan spiritualitas mereka. Dalam cerpen Tiga Tanda Mati, penulis menghadirkan kematian bukan sebagai akhir yang tiba-tiba, melainkan sebagai proses yang diiringi tanda-tanda mistis. Tiga tanda fisik dan psikis: bintik putih di bawah mata, sidik jari di dada, serta perubahan sikap, menjadi penanda transisi antara kehidupan dan kematian. Cerita ini tidak hanya mengeksplorasi ketakutan manusia akan ajal, tetapi juga menyentuh dimensi mistisisme yang mengakar dalam kepercayaan suatu kolektif. Jika dikaitkan dengan mistisisme, kematian di sini bukan sekadar peristiwa biologis, melainkan perjalanan spiritual yang terikat oleh hukum alam gaib.
TANDA-TANDA MISTIS: TAKUT DAN PASRAH
Mistisisme adalah upaya manusia untuk memahami hubungan rahasia antara diri dan kekuatan transendental. Dalam Tiga Tanda Mati, tiga tanda kematian berfungsi sebagai simbol yang menghubungkan manusia dengan takdir yang telah ditetapkan. Bintik putih di bawah mata, misalnya, bukan sekadar kelainan fisik, melainkan "pesan" dari alam lain yang tak bisa dielakkan. Tokoh Pak Derma dan Bu Indah mencoba melawan atau menerima tanda ini, tetapi keduanya tetap tunduk pada akhir yang sama.
Kepatuhan masyarakat terhadap tanda-tanda ini mencerminkan kepercayaan akan adanya kekuatan di luar manusia yang mengatur hidup-mati. Seperti dikatakan tokoh polisi,
"Di wilayah tempatku tinggal jarang orang mati. Namun, ketika ada yang mati, pasti bisa ditebak kehadirannya."
Kalimat ini menunjukkan bahwa masyarakat telah menginternalisasi mitos ini sebagai hukum alam yang tak terbantahkan. Mistisisme di sini berperan sebagai sistem pengetahuan yang memberi makna pada ketidakpastian.
UJI PSIKIS: PERUBAHAN SIKAP SEBAGAI GERBANG AKHIR
Tanda ketiga, perubahan sikap, menjadi ujian terberat secara spiritual. Pak Derma yang semula penyayang berubah menjadi pemarah, sementara Bu Indah yang biasanya selalu sibuk justru menjadi penuh perhatian. Perubahan ini bukan sekadar gejala psikologis, melainkan pertanda bahwa jiwa sedang bersiap meninggalkan dunia yang fana. Dalam mistisisme Jawa, perubahan sikap mendadak sering dikaitkan dengan "wisik" (pesan gaib) atau firasat kematian.
Tokoh polisi dalam cerita berusaha menghindari tanda ketiga dengan mempertahankan rutinitasnya:
"Ya, sepertinya aku mendapat jawaban agar aku tak mati. Ya, jangan sampai aku melakukan hal sebaliknya dari aku sebelumnya seperti Pak Derma dan Bu Indah. Itu tanda ketiga! Persetan dengan dua tanda yang muncul!"
"Ya, aku memang harus seperti biasa. Aku tak boleh menunjukkan diri berubah. Perubahan adalah tanda ketiga. Aku harus statis agar tidak mati!"
Namun, upaya ini justru mengungkap sebuah paradoks: semakin ia berusaha melawan takdir, semakin ia terjerat dalam kecemasan. Di sini, mistisisme tidak hanya tentang kepasrahan, tetapi juga konflik batin manusia yang berusaha memaknai keberadaan di tengah hukum alam yang tak akan bisa dipahami.
KEMATIAN SEBAGAI TRANSENDENSI: DARI TUBUH MENUJU RUH
Kematian dalam cerpen ini bukan akhir, melainkan pintu menuju dimensi yang lebih tinggi. Sidik jari di dada kiri, lambang jantung sebagai pusat kehidupan, menjadi metafora bahwa kematian adalah perpindahan energi dari tubuh ke entitas spiritual. Ketika tokoh polisi menyadari dirinya memiliki ketiga tanda, ia akhirnya menerima nasib:
"Pun, aku lihat cermin, bintik putih di bawah mata tampak lebih besar. Kulihat kalender, ini hari jelang sebulan sejak tanda pertama muncul. "Sebelumnya kau jarang memperhatikan mata dan dadamu, kenapa sekarang sebaliknya...."
Aku tak tahu siapa yang mengatakan itu, sumpah. Aku tak tahu. Yang kutahu, di wilayah tempatku tinggal jarang orang mati. Namun, ketika ada yang mati, pasti bisa ditebak kehadirannya. Ada tiga tanda sebagai penanda. Dan kini, kurasa sudah memiliki ketiga-tiganya."