Langit di luar jendela kamar berwarna abu-abu, seakan meniru isi kepala Hira yang sama mendungnya. Ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Sudah seminggu sejak ia mulai kuliah di tempat yang baru, tapi tubuhnya terus memberontak. Dada terasa sesak, lambungnya perih, pikirannya seperti mesin tua yang dipaksa bekerja tanpa minyak. Ia tahu, penyakitnya kambuh lagi.
Sebenarnya, ia sudah lelah. Lelah dengan semuanya. Sejak kecil, ia selalu menyimpan luka dalam diam. Tidak pernah tahu cara berbagi beban, tidak pernah diajari bahwa menangis bukanlah kelemahan. Maka, ia tumbuh menjadi seseorang yang pandai menyembunyikan air mata, tapi hancur di dalamnya.
Semester satu, gangguan kecemasan mulai menggerogoti hari-harinya. Tidur tak nyenyak, makan tak nyaman, pikiran tak pernah diam. Rasanya seperti dikejar sesuatu yang tak kasatmata, sesuatu yang terus mencengkeram lehernya erat-erat. Lalu, di semester tiga—ia menyerah.
Ia mencoba “mengakhiri” semuanya.
Tidak ada yang tahu, karena gagal. Tidak ada yang tahu, karena ia memilih untuk tetap diam. Mungkin masih ada sepotong kecil harapan di sudut hatinya. Atau mungkin, ia hanya terlalu takut. Yang jelas, ia terus melanjutkan hidup, meski dengan langkah terseok-seok.
Di semester lima, ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bicara. Ia ceritakan semuanya pada orang tuanya—tentang kecemasan yang menghantui sejak awal kuliah, tentang luka yang ia tahan sendirian, tentang percobaan bunuh diri yang mereka tidak pernah tahu.
Setelah perdebatan panjang, keputusan diambil: ia harus pindah ke universitas dekat rumah. Mereka pikir, ini akan membuatnya lebih baik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Di hari pertama kuliah di tempat yang baru, tubuhnya langsung memberontak. Dadanya kembali sesak, perutnya melilit, pikirannya kacau. Ia mencoba mengabaikannya, tapi seminggu berlalu dan semua ini semakin buruk. Ia akhirnya menyerah, memutuskan menemui seorang psikolog.
“Kamu sudah terlalu lama menahan semuanya sendiri,” kata psikolog itu setelah mendengar ceritanya. “Gejalanya sudah terlalu dalam, ini bukan lagi sekadar kecemasan biasa. Aku sarankan kamu pergi ke psikiater.”