Mohon tunggu...
Muhammad Afif Al Fahmi Asri
Muhammad Afif Al Fahmi Asri Mohon Tunggu... Aspiring Educator | Indonesian Language and Literature Student at UNILA | Poetry Enthusiast | Content Writer

Saya Muhammad Afif Al Fahmi Asri, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Lampung. Saya memiliki hobi menulis puisi, dan hobi ini berhasil membawa saya untuk menerbitkan buku antologi puisi pertama saya yang berjudul "Menghitung Sisa Hari". Selain fokus pada penulisan sastra, saya aktif menulis di platform seperti GNFI, Kompasiana, dan Indonesiana, berbagi cerita, opini, serta inspirasi kepada pembaca luas. Menulis bukan hanya hobi, melainkan cara saya menyampaikan suara, mencipta karya, dan meninggalkan jejak yang bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Nadir

10 Maret 2025   03:04 Diperbarui: 10 Maret 2025   03:04 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Man Sitting in Front of Turned-on Screen (Sumber: Pexels)

Langit di luar jendela kamar berwarna abu-abu, seakan meniru isi kepala Hira yang sama mendungnya. Ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Sudah seminggu sejak ia mulai kuliah di tempat yang baru, tapi tubuhnya terus memberontak. Dada terasa sesak, lambungnya perih, pikirannya seperti mesin tua yang dipaksa bekerja tanpa minyak. Ia tahu, penyakitnya kambuh lagi.

Sebenarnya, ia sudah lelah. Lelah dengan semuanya. Sejak kecil, ia selalu menyimpan luka dalam diam. Tidak pernah tahu cara berbagi beban, tidak pernah diajari bahwa menangis bukanlah kelemahan. Maka, ia tumbuh menjadi seseorang yang pandai menyembunyikan air mata, tapi hancur di dalamnya.

Semester satu, gangguan kecemasan mulai menggerogoti hari-harinya. Tidur tak nyenyak, makan tak nyaman, pikiran tak pernah diam. Rasanya seperti dikejar sesuatu yang tak kasatmata, sesuatu yang terus mencengkeram lehernya erat-erat. Lalu, di semester tiga—ia menyerah.

Ia mencoba “mengakhiri” semuanya.

Tidak ada yang tahu, karena gagal. Tidak ada yang tahu, karena ia memilih untuk tetap diam. Mungkin masih ada sepotong kecil harapan di sudut hatinya. Atau mungkin, ia hanya terlalu takut. Yang jelas, ia terus melanjutkan hidup, meski dengan langkah terseok-seok.

Di semester lima, ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bicara. Ia ceritakan semuanya pada orang tuanya—tentang kecemasan yang menghantui sejak awal kuliah, tentang luka yang ia tahan sendirian, tentang percobaan bunuh diri yang mereka tidak pernah tahu.

Setelah perdebatan panjang, keputusan diambil: ia harus pindah ke universitas dekat rumah. Mereka pikir, ini akan membuatnya lebih baik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Di hari pertama kuliah di tempat yang baru, tubuhnya langsung memberontak. Dadanya kembali sesak, perutnya melilit, pikirannya kacau. Ia mencoba mengabaikannya, tapi seminggu berlalu dan semua ini semakin buruk. Ia akhirnya menyerah, memutuskan menemui seorang psikolog.

 

“Kamu sudah terlalu lama menahan semuanya sendiri,” kata psikolog itu setelah mendengar ceritanya. “Gejalanya sudah terlalu dalam, ini bukan lagi sekadar kecemasan biasa. Aku sarankan kamu pergi ke psikiater.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun