Dia selalu menjawab tanyaku dengan cara itu. Setelah beberapa lama, kata tersebut, ‘shofer’, mulai bergema dalam kepalaku, kata yang entah bermakna atau tidak, namun akhirnya menjelma tetesan air yang semakin mengisi kolam pikiranku – sungguh menyiksa.
Setiap kali kata itu menetes dan menggemakan suaranya, ada riak-riak yang perlahan membentuk sebuah citra dalam cakrawala imajinasiku. Semua gambaran yang muncul tak bisa kutentukan, terjadi dengan spontan, sebuah lalu lintas mimpi dalam sekejap mata.
Asap tersapu. Cahaya berpendar-pendar. Orang berdoa. Kekhusyuan patung. Kilauan mutiara. Bambu terbelah. Mata terbuka. Muka berteriak. Pohon dan hutan berlari. Awan meleleh. Hingga akhirnya lenyap, tak ada lagi kata ‘shofer’, juga imaji itu, hanya kekosongan.
Sesudah itu, aku seperti menemukan mata air yang jernih sampai aku bisa melihat batu, daun, ranting, dan kerang-kerangan di dasarnya. Rasanya aku bagai orang buta yang bisa melihat kembali.
Ketika kulihat langit, orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang, gedung-gedung dengan jendela yang berbaris, pohon, tiang listik yang mengestafetkan kabel-kabel, genangan air bercampur minyak, sampai ubin-ubin yang terkikis dan rusak susunannya, memiliki semacam kilauan yang bisa kau temukan pada lengkungan embun pagi atau juga pada permukaan air yang disiram oleh sinar matahari.
Kilauan-kilauan itu bergerak seperti gelombang, menyebar dari satu benda ke benda lainnya. Saat kuamati dengan seksama, pada gelombang tersebut terdapat sulur bergelombang yang menumbuhkan sulur lain yang identik dengannya, dan begitu seterusnya – sebuah fraktal.
Tetapi tak satupun dari semua itu yang menjelaskan arti dan makna kata shofer. Jauh setelah kejadian itu, barulah kutahu kalau kata tersebut adalah pengucapan dari ‘sifr’, kata dalam bahasa Arab yang berarti ‘nol’.
Terkadang, tidak banyak tahu itu lebih membantu daripada tahu lebih banyak, sebab arti yang kutemukan tersebut telah meruntuhkan keajaiban dan keindahan fenomena itu. Kekosongan yang terselubung menjadi kelihatan, tetapi objek kehilangan bentuknya, bukan bentuk atau wujud yang menempati ruangan, wujud itu sementara, yang abadi adalah panta rhei.
Kembali ke kenyataan suram yang menghukumku, kini giliranku untuk merasakan kesementaraan wujud ketika kurasakan maut mulai mengusir kehangatan dari telapak kakiku. Pernahkah engkau tidak tidur selama tiga hari atau lebih, menanggung kelelahan dan keletihan?
Begitulah yang kurasakan, bukan rasa sakit yang menyerbu semua saraf secara simultan. Aku tenggelam dalam kelelahan yang dasyat dan aku tahu tidak perlu melawan, hal itu hanya akan membuatku semakin tersiksa. Kelelahan ini semakin intens saja, terasa sangat mencecikku seperti jaket kekang yang paling erat ikatannya.
“Sifr.. sifr… sifr…” Aku bisa mendengarkan semua suara sejelas-jelasnya, para perawat sibuk memanggil orang terdekatku, semua tahu ini sudah waktunya dan mereka menangis, juga ada berbagai bunyi lain yang nyaring, memekik, getaran, desiran, dan desisan es yang meleleh. “Sif… sif… sif…” Hanya ada satu sumber cahaya nun jauh di ujung lorong, bukan tetapi di atas sana seolah kulihat dari dasar sumur. “Si… si… s… s…” Aku tersedot sama halnya air dalam ember bocor.