Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelras dan Serangan Brutalnya pada Kesejarahan Bugis dan Perahu Phinisi

29 November 2020   14:13 Diperbarui: 30 November 2020   17:18 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Photo by. Fadly Bahari)

Adanya perbendaharaan kata khusus untuk bagian-bagian tertentu dari perahu, dan juga beragamnya nama jenis kapal, menunjukkan fakta adanya pengembangan secara bertahap dalam periode yang sangat lama.

Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai reputasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, ambergris, damar, sarang burung walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina bagian selatan. 

Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka. 

Bahkan pada 1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal pinisi milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan memenuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri dari 800 pinisi masih membawa kayu dalam rute reguler dari Kalimantan ke Jawa. 

Bangsa Bugis juga merupakan koloni bahari yang sukses, yang berhasil mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pelabuhan Indonesia. Pada abad ke-l7, mereka bahkan mengambil alih kerajaan Johor, dan dalam kurun waktu 1820-1830, pada masa  masa pembentukan Singapura, bangsa Bugis sudah memiliki tempat tinggal di sana.

William Marsden (1754-1836) seorang orientalis berkebangsaan Inggris, dalam bukunya The History of Sumatra (1784: hlm. 172) mengatakan:

 "Orang-orang Bugis Makassar yang datang tiap tahun untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai teladan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. 

Mereka juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya dalam permainan sabung ayam dan opium".

Menurut H. Kahler (1975); Di Afrika Selatan, Cape Melayu disebut Slameiers, yang terkontaminasi oleh Selam (istilah Melayu untuk Islam) dan Maleier (nama Afrika untuk Melayu). 

Pada abad 17 dan 18, mereka rupanya disebut Bugis, Bougise atau Bugunesen, nama penduduk bagian selatan Celebes(Sulawesi). [H. Kahler. "Der Islam Bei Den Kap-Malaien" - Handbook of Oriental Studies. Section 3 Southeast Asia, Religions, Religionen, Leiden, E. J. Brill, 1975, hlm. 127]

Kontroversi Pelras dalam Buku "Manusia Bugis"

Uraian Thomas Stamford Raffles, James Cowles Prichard, William Marsden, hingga Robert Dick di atas tentang profil orang Bugis sebagai pelaut ulung sejak berabad-abad yang lalu tentu saja sangat kontras dengan apa yang diungkap Pelras dalam bukunya Manusia Bugis:

Orang Bugis sejak berabad-abad lamanya sebenarnya merupakan salah satu suku bangsa yang paling tidak dikenal di Nusantara. Ironisnya, dari sedikit "pengetahuan" yang beredar mengenai mereka, sebagian besar di antaranya justru merupakan informasi yang keliru. 

Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dahulu kala. Anggapan itu bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai wilayah Nusantara -- dari Singapura sampai ke Papua, dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. 

Ada pula yang mengatakan, orang Bugis pernah berhasil menyeberangi samudra Hindia sampai ke Madagaskar. Orang pun lalu beranggapan bahwa orang Bugis mungkin pelaut paling ulung yang ada di wilayah Asia Tenggara. Padahal, dalam kenyataan sebenarnya, orang Bugis pada dasarnya adalah petani. Sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang pada abad ke-18 Masehi. 

Adapun perahu pinisi' yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara penghujung abad ke-19 hingga decade 1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak mendasar. [Christian Pelras, "Manusia Bugis," Jakarta: Nalar bekerja sama  Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2005, hlm. 3-4]

Pernyataan Pelras yang saya kutip di atas sulit untuk tidak bisa dianggap memiliki maksud-maksud tertentu. Terlepas dari dugaan saya ini, tentu saja saya sangat mengapresiasi tinggi upaya Pelras dalam menyusun buku Manusia Bugis yang kaya akan berbagai sumber literatur, tapi, pencapaian baik tersebut, saya pikir, tentu saja tidak boleh membuat kita lalai dalam memberi kritik terhadap hal-hal yang memang sudah sepatutnya mendapatkan kritik.

Sejujurnya, menjadi hal yang mengherankan bagi saya bahwa dengan materi literatur sedemikian banyak itu, pada akhirnya,  malah mengantarkan Pelras tiba pada keputusan membuat pernyataan demikian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun