Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Agar Tidak Menilai Lahiriah Saja, Belajarlah Kisah Musa dan Khidir

11 Maret 2020   08:59 Diperbarui: 12 Maret 2020   15:03 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: www.ancient-origins.net)

Suatu hikmah atau kebijaksanaan (dari Allah), seringkali tidak  nampak secara lahiriah. Butuh pendalaman untuk dapat memaknainya. 

Bahkan kadang, ada hikmah yang memang hanya butuh kesabaran kita untuk menunggu. Hingga pada momentum yang tepat hikmah itu mengemuka dengan sendirinya. 

Sikap yang terlalu reaktif hanya akan mengacaukan proses. Dalam hal ini, kesabaran adalah kunci utama. Dan satu hal penting tentang kesabaran, adalah bahwa ia bukan milik orang yang merasa paling benar dan paling tahu.

Orang  yang merasa paling benar dan paling tahu sangat gampang memberi penilaian. Mudah memberi pendapat menurut pandangannya. Inilah bentuk sikap reaktif yang saya maksud - sikap yang pada dasarnya mengacaukan kepekaan bathin.

Yang mencemaskan, pada masa ini, sangat banyak orang  yang merasa paling benar dan paling tahu. Sama banyaknya dengan orang-orang yang mengutamakan penampilan lahiriah yang nampak bermoral dan agamais. Mereka-mereka inilah yang sedang meramaikan zaman ini.

Yang menarik, kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir pada dasarnya juga diwarnai dengan sikap reaktif dari Nabi Musa, meskipun jelas-jelas ketika ia memohon agar dibolehkan ikut dan belajar pada Nabi Khidir, Nabi Khidir telah  mengingatkannya agar selama ia mengikutinya, ia tidak menanyakan tentang sesuatu apa pun.

Agar lebih jelas, berikut ini terjemahan surah Al-Kahfi ayat 60-82 yang meriwayatkan pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir:

[18:60] Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun." 

[18:61] Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. 

[18:62] Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata kepada pembantunya, "Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini." 

[18:63] Dia (pembantunya) menjawab, "Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali." 

[18:64] Dia (Musa) berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. 

[18:65] Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. 

[18:66] Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?" 

[18:67] Dia menjawab, "Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. 

[18:68] Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" 

[18:69] Dia (Musa) berkata, "Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun." 

[18:70] Dia berkata, "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu." 

[18:71] Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?" Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar. 

[18:72] Dia berkata, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?" 

[18:73] Dia (Musa) berkata, "Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku." 

[18:74] Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar." 

[18:75] Dia berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?" 

[18:76] Dia (Musa) berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku." 

[18:77] Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, "Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu." 

[18:78] Dia berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu sabar terhadapnya. 

[18:79] Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu. 

[18:80] Dan adapun anak muda itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. 

[18:81] Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya). 

[18:82] Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya." 

Pertanyaannya, mengapa sampai Nabi Musa tidak bisa menahan diri? Bahkan terhitung sampai tiga kali ia memberi tanggapan terhadap tindakan Nabi Khidir (dua pertanyaan, satu pernyataan).

Tidak bisa dipungkiri, sikap Nabi Musa yang sampai tiga kali memberi tanggapan pada tindakan Nabi Khidir yang tidak sejalan dengan pendapatnya, menunjukkan bahwa ada kecenderungan ia adalah seorang aktivis yang kritis. 

Setidaknya potensi itu telah berhasil ia buktikan dalam perjuangannya melawan Firaun di Mesir dalam membebaskan Bani Israel dari perbudakan yang telah berlangsung sekitar 400 tahun. 

Bisa jadi kesuksesan perjuangan Nabi Musa dan Bani Israel saat itu, adalah kesuksesan pertama kali pergerakan kaum marginal melawan tirani dalam sejarah manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun