Mohon tunggu...
Fadirra
Fadirra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang penghobi hal-hal yang menarik dan bermanfaat. A hobbyist to interesting and useful things.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suatu Kisah tentang Koesno

14 Juli 2011   13:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

INDONESIAN VERSION: Sewaktu Koesno umur 6 tahun sudah mulai gemar nonton wayang sampai larut malam, tidak sekedar hanya cukup menonton saja, melainkan diperhatikan serta dipelajarinya cerita wayang tersebut sebaik-baiknya. Koesno menyukai cerita Werkudoro, yaitu lambang daripada keadilan dan kebenaran. Ketika ia pindah sekolah ke Mojokerto dalam usia 12 tahun, di dekat pondokannya ada seorang kebayan dan petani miskin bernama Wagiman. Dengan orang melarat ini Koesno sangat akrab. Dan sama-sama pecinta wayang dan pengagum tokoh-tokohnya. Pernah suatu hari Koesno bertanya, "Man, kenapa kamu begitu susah dan miskin?". "Pendawa kan miskin juga, Den?", jawab Wagiman. "Tapi, tidak compang-camping seperti kamu", bantah Koesno. "Biarlah ya, Man, baju boleh compang-camping asalkan batin kita tidak morat-marit", tambah Koesno. ~Catatan: Koesno adalah nama kecil dari Bung Karno. ~Disadur secara mentah-mentah dari buku Pancasila & Sumber-Sumber Peradaban yang Digali karangan Didiek Poernomo.

~O~

ENGLISH VERSION: A Story of Koesno When Koesno was 6-year-old, he had already been fond of watching Wayang (an Indonesian shadow puppet show) until late at night. He learned some life lessons as well from the show. Koesno liked the story of Werkudoro, which was about justice and truth. When he moved to Mojokerto at age 12, there was a poor farmer named Wagiman near his living place. Koesno was very close to him and both also loved Wayang and its characters. One day, Koesno asked to Wagiman, "Man, why are you so poor?". “Pendawa (some of the Wayang characters --red) are poor as well, aren't they?”, Wagiman answered. “But, not as shabby as you”, Koesno argued. “Well, Man, our clothes might be shabby as long as our hearts were not”, Koesno added. ~Note: Soekarno was called Koesno during his childhood. Taken from book Pancasila & Sumber-Sumber Peradaban yang Digali, written by Didiek Poernomo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun