Mohon tunggu...
Fadia Ramadhani
Fadia Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya adalah bermain basket

Selanjutnya

Tutup

Film

Globalisasi dan Eksploitasi: Cerminan "The New Rules of the World" di Bandung

27 Maret 2025   11:13 Diperbarui: 27 Maret 2025   11:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

John Pilger, dalam film dokumenter berjudul "The New Rules of the World," mengeksplorasi bagaimana globalisasi, yang seharusnya membawa kebaikan bagi semua orang, malah memperbesar jurang antara negara kaya dan negara miskin. Kontrol globalisasi terletak di tangan sekelompok kecil elit bisnis dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Sebagai akibatnya, negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi sasaran eksploitasi ekonomi oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang mencari tenaga kerja yang lebih murah. 

Indonesia adalah contoh konkret di mana globalisasi memberikan efek merugikan bagi negara-negara yang sedang berkembang. Meskipun kaya akan sumber daya alam seperti emas, minyak, dan kayu, Indonesia seharusnya bisa mencapai status sebagai negara maju. Namun, berkat koloni yang berlangsung selama berabad-abad dan imperialisme modern oleh perusahaan multinasional, rakyat Indonesia masih terjebak dalam kemiskinan. 

Pilger menyoroti keadaan pekerja di pabrik-pabrik yang dimiliki oleh kontraktor dari Taiwan dan Korea yang berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan global seperti Nike, Reebok, dan GAP. Mayoritas pekerja, yang merupakan perempuan muda, berada dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi dan hanya menerima gaji sekitar satu dolar sehari, jauh di bawah standar hidup yang layak. Pabrik-pabrik ini memanfaatkan tenaga kerja yang murah untuk memproduksi pakaian yang kemudian dijual dengan harga tinggi di negara-negara maju. 

Disamping itu, etika kerja yang dirancang untuk melindungi pekerja sering kali tidak diterapkan secara efektif. Pemerintah Indonesia sendiri cenderung lebih mengutamakan pengundangan investor asing dengan menawarkan tenaga kerja yang murah, sehingga hak-hak para buruh seringkali terabaikan. Serikat pekerja yang berusaha melawan sering kali mengalami tindak kekerasan dan penindasan. 

Bank Dunia dan IMF memiliki pengaruh besar dalam penetapan kebijakan ekonomi di Indonesia. Dengan dalih untuk membantu pembangunan, mereka memberikan pinjaman yang pada kenyataannya justru menjerat Indonesia dalam lingkaran utang. Syarat dari pinjaman tersebut adalah privatisasi ekonomi dan pengurangan subsidi untuk masyarakat miskin, yang pada akhirnya memperburuk ketidakadilan sosial. 

Faktanya, dalam dokumen internal Bank Dunia tercantum bahwa hampir sepertiga dari dana pinjaman yang dialokasikan untuk Indonesia di era Suharto hilang karena praktik korupsi. Namun, utang tersebut tetap harus ditanggung oleh rakyat Indonesia, sekalipun mereka tidak merasakan manfaat langsung dari dana tersebut. 

Saat krisis ekonomi melanda pada tahun 1998, modal asing ditarik secara mendadak dari Asia, menyebabkan ekonomi terpuruk secara drastis. Nilai tukar rupiah anjlok dari 2.500 menuju lebih dari 10.000 per dolar, yang pada gilirannya menurunkan biaya produksi bagi perusahaan multinasional seperti Nike. Sementara itu, rakyat Indonesia menanggung derita akibat lonjakan harga barang pokok dan meningkatnya angka pengangguran. 

Pilger juga mengungkap bagaimana rezim Suharto, yang didukung oleh Amerika Serikat dan Inggris, memegang kekuasaan melalui pembantaian massal pada tahun 1965. Lebih dari satu juta individu yang dicurigai sebagai komunis, termasuk para guru, petani, dan pegawai negeri, dibunuh. CIA bahkan memberikan daftar berisi 5.000 orang yang harus dihilangkan kepada militer Indonesia. 

Kudeta yang dilakukan Suharto bukan hanya sekadar peralihan kekuasaan, namun juga merupakan operasi yang dirancang untuk membuka pasar Indonesia bagi kepentingan perusahaan-perusahaan Barat. Dalam waktu singkat setelah pembantaian, perusahaan-perusahaan asing seperti General Motors, Exxon, dan British American Tobacco segera beroperasi di Indonesia.

Suharto memanfaatkan jabatannya untuk mendatangkan keuntungan bagi keluarganya dan para kroninya, yang mengendalikan sektor-sektor ekonomi penting seperti listrik, telekomunikasi, dan transportasi. Selama bertahun-tahun, Bank Dunia dan IMF terus mendukung rezim ini, meskipun terdapat banyak kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. 

Di seluruh dunia, dari Afrika hingga Amerika Latin, muncul perlawanan terhadap ketidakadilan dalam sistem ekonomi global ini. Salah satu demonstrasi terbesar terjadi di Seattle pada tahun 1999, di mana ribuan individu dari berbagai negara bersatu untuk mengkritik kebijakan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun