Mohon tunggu...
Mohammad FadhliArmiyansah
Mohammad FadhliArmiyansah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

pencari makna kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kota Sidoarjo dan Tradisinya

8 Mei 2020   23:15 Diperbarui: 8 Mei 2020   23:06 2281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sidoarjo, ketika kata tersebut muncul pasti kalimat yang terlintas di fikiran kita adalah lumpur lapindo.Ya memang begitulah cara sebagian orang mengingat tentang kota Sidoarjo. Sekedar informasi saja, lumpur lapindo sendiri adalah bencana alam yang berupa semburan lumpur panas yang terjadi di kota Sidoarjo yang bertepatan di daerah Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Peristiwa tersebut timbul karena kegiatan pengeboran sumur PT Lapindo. Menurut beberapa ahli peristiwa terjadinya semburan lumpur panas tersebut dikarenakan adanya kesalahan dalam pengeboran. Menurut para ahli yang lain adalah dikarenakan dampak dari gempa bantul pada tahun 2006. Ada juga yang mengatakan peristiwa tersebut terjadi karena dampak kombinasi dari gempa dan kesalahan pengeboran. Bencana alam tersebut memberikan dampak negatif yang sangat merugikan masyarakat sekitar dan perekonomian Provinsi Jawa Timur dan sampai sekarang lumpur lapindo masih ada dan belum bisa diatasi.  Nah seperti itu lah sekilas tentang lumpur lapindo.

          Oke setelah mengetahui tentang bencana alam yang terjadi di Sidoarjo, sekarang kita akan sedikit membahas tentang sejarah kota ini. Sidoarjo pada zaman dulu dikenal sebagai pusat kerajaan janggala. Ketika masa kolonialisme hindia belanda, daerah sidoarjo dulu bernama sidokare yang dimana merupakan bagian dari kabupaten surabaya. Daerah sidokare tersebut dipimpin oleh R.ng. Djojohardjo. Beliau merupakan seorang patih yang bertempat tinggal di pucang anom dan beliau juga dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang bertempat tinggal di kampung pangabahan. Pada 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. Kabupaten Sidokare dipimpin oleh R.Notopuro  yang sekarang bergelar (R.T.P Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan. Ia adalah putra dari R.A.P. Tjokronegoro, Bupati Surabaya. Pada tanggal 28 mei 1859, nama Kabupaten Sidokare yang memiliki konotasi kurang bagus diubah namanya menjadi Kabupaten Sidoarjo. Nah begitulah sedikit cuplikan tentang sejarah kota sidoarjo.

          Lalu bagaimanakah kebudayaan dan ciri khas atau adat istiadat di daerah Kabupaten Sidoarjo?. Setiap daerah pasti mempunyai ciri khas masing-masing, ciri khas daerah ini adalah kota sidoarjo terkenal dengan kota udang atau kota delta. Mengapa disebut kota udang atau kota delta? Karena sidoarjo merupakan salah satu penghasil udang dan bandeng yang merupakan simbol dari kota ini. Lalu mengapa kok disebut kota delta? Karena kota sidoarjo berada diantara dua sungai besar pecahan kali brantas, yaitu kali mas dan kali porong. Sedangkan tradisinya adalah lelang bandeng dan nyadran. Lelang bandeng adalah kegiatan tradisional yang diadakan setiap tahunnya dan bertepatan pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.yang bertempat di alun-alun sidoarjo. Tujuan kegiatan ini selain menjunjung tinggi dan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW juga mempunyai maksud untuk menjadikan motivasi dan pengembangan promosi agar petani tambak meningkatkan produksi ikan bandeng dan juga lebih meningkatkan kesejahteraannya. Lelang bandeng ini merupakan tujuan mulia, karena hasil bersih uang seluruhnya digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan melalui yayasan amal bhakti Muslim Sidoarjo. Tradisi lelang bandeng selalu dibarengi juga dengan kegiatan-kegiatan lainnya yaitu pasar murah, berbagai macam hiburan tanpa dipungut biaya, antara lain Band, Orkes Melayu, Ludruk, Samroh dan lomba MTQ tingkat kabupaten. Bandeng yang dilelang tersebut dinamakan bandeng "KAWAKAN" yang dipelihara khusus antara 5 -- 10 tahun dan mencapai berat 7 Kg sampai 10 Kg per ekor. Selanjutnya adalah tradisi nyadran. Tradisi ini dilakukan ketika bulan ruwah yang ada pada kalender jawa atau juga bisa disebut ruwatan. Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ini ada tradisi yang selalu dilakukan setiap bulan ruwah pada saat bulan purnama. Nama tradisi itu adalah nyadran, nyadran sendiri merupakan adat para nelayan kupang di Desa Balongdowo sebagai ucapan rasa syukur kepada tuhan yang maha Esa dengan melakukan sebuah pesta peragaan cara mengambil kupang di tengah laut selat madura. Kegiatan ini dilakukan pada saat dini hari pukul 01.00. Pada siang hari orang-orang sibuk menyiapkan pesta upacara tersebut. Pada waktu upacara tiba orang-orang berkumpul untuk melakukan perjalanan keliling dimulai dari Desa Balongdowo Kec, Candi menempuh jarak 12 Km lalu menuju dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec. Buduran. Perjalanan ini dilakukan melewati beberapa sungai yakni sungai desa balongdowo, klurak kali pecabean,kadung peluk dan kepetingan (sawohan). Ketika iringan perahu telah sampai di muara kali pecabean perahu yang ditumpangi anak balita itu harus melemparkan seekor ayam ke muara tersebut sebagai tumbal. Karena konon dulu ketika upacara ini dilakukan ada masyarakat yang membawa anak kecil dan anak kecil itu mengalami kesurupan. Oleh karena itu masyarakat balongdowo percaya jika melempar seekor ayam hidup ke kali pecabean maka anak kecil tersebut teerhindar dari kesurupan yang terjadi pada upaca nyadran sebelumnya.

          Ketika waktu sudah menandakan sekitar pukul 04.30 WIB. Masyarakat yang mengikuti iringan perahu tersebut tiba di dusun Kepetingan desa Sawohan. Rombongan peserta nyadran tadi menuju ke makam dewi sekardadu untuk mengadakan makan bersama. Sambil menunggu fajar tiba peserta melakukan ziarah, berdoa, bersedekah di makam tersebut agar berkah selalu mengalir. Menurut cerita rakyat balongdowo dewi sekardadu adalah putri dari raja Blambangan yang bernama Minak Sembuyu yang ketika waktu meninggalnya dikelilingi " ikan kepiting " maka dari itu dusun tersebut diberi nama kepetingan, tetapi orang-orang sekitar sering menyebutnya dusun ketingan.

          Setelah acara yang berada di makam dewi sekardadu, sekitar pukul 07.00 pagi mereka melanjutkan perjalanan menuju selat madura yang jaraknya sekitar 3 km dari makam tersebut. Sekitar pukul 10.00 kegiatan mengambil kupang di tengah laut selat madura telah selesai, mereka kembali ke Dusun Balongdowo. Nah ketika diperjalanan kembali ke Dusun Balongdowo itu banyak masyarakat yang menunggu di tepi sungai untuk menyambut iringan perahu tersebut dan meminta makanan atau berkat yang dibawa oleh peserta upacara nyadran dengan harapan mendapatkan berkah.

          Ya begitulah sedikit tentang kota sidoarjo yang bisa saya sampaikan. Jika ada salah kata atau pengucapan saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Demikian tulisan saya buat semoga bermanfaat ;).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun