Mohon tunggu...
Fadhli Harahab
Fadhli Harahab Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Tertarik di bidang sospol, agama dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila dan Perjanjian Suci

30 Juni 2020   00:00 Diperbarui: 2 Juli 2020   01:11 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibarat sejoli yang hendak membina biduk rumah tangga, maka akad dalam sebuah perkawinan adalah keharusan yang mengikat. Akad bukanlah cuap-cuap kata yang keluar tanpa tanggungjawab moral dan materil. 

Di dalam akad terkadung perjanjian dan kesepakatan suci yang dilandasi rasa cinta dalam rangka menyukseskan jalannya kehidupan bersama. Di dalam akad itu pula terselip pesan yang dimaknai sebagai sebuah ikatan untuk saling setia, menjaga dan mengasihi. 

Sumpah dan janji yang dibangun oleh satu rasa untuk saling menerima dan menghormati dalam rangka membangun keluarga yang tentram, damai lagi sejahtera. 

Pancasila sebagai sebuah akad, dapat dimaknai sebagai janji dan kesepakatan bersama yang dilandasi rasa yang sama untuk membangun bangsa indonesia ke depannya. Kesepakatan yang didasarkan oleh keinginan untuk merdeka dan berdaulat serta mengurus diri sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur. 

Memaknai Trisila, Ekasila

Bagi kelompok nasionalis kebangsaan, pidato Bung Karno 1 Juni 1945 merupakan satu tarikan nafas dengan trisila atau ekasila, walaupun itu hanya sekadar gagasan yang ditawarkan.

Ide awal yang tak terpisahkan dari sejarah rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Apakah usulan trisila atau ekasila Bung Karno itu ditolak? Tidak. Dinyinyirin? Tidak juga. Melenceng dari tafsiran Pancasila? Gak juga.

Kala itu memang terjadi dialog yang cukup alot antara kelompok nasionalis kebangsaan dan nasionalis islam. Kelompok islam ngotot tujuh kata yang kita kenal sebagai piagam jakarta menjadi norma dalam Pancasila. Kompromi kedua kelompok ini akhirnya menemui mufakat yang menghasilkan teks pancasila yang sering kita baca saat upacara bendera. 

Trisila dan ekasila yang menjadi polemik karena dituding mereduksi makna pancasila tentu saja hanya kekhawatiran. Sejak awal trisila dan ekasila bukanlah perasan yang mengeringkan tafsiran dan mendangkalkan kedalaman makna, pencetusnya sendiri menegaskan pancasila bersifat dinamis. 

Begitu juga saat trisila dan ekasila dituding sekuler. Padahal sila ketuhanan yang berkebudayaan merupakan akar dari sila-sila lainnya. Akar yang tak tampak tapi menumbuhkan dan menyeimbangkan apa yang di atasnya. Jadi, ada relasi utuh dan tak terpisahkan antara Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan.

"Ketuhanan" yang mengandung nilai-nilai universal terserap dari tradisi agama-agama, nilai etis yang menjadi common value dan sudah menjadi jati diri bangsa. Kepasrahan, Persatuan, kedamaian, kebajikan, kemaslahatan, permusyawaratan, keadilan dan kesejahteraan, bukankah merupakan esensi dari nilai-nilai itu? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun