Mohon tunggu...
Fazlul Rahman
Fazlul Rahman Mohon Tunggu... -

progressive and moderate moslem

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

“Kalau Beragama tuh Pake Otak!”: Materialitas dan Rasionalitas dalam Beragama

21 Februari 2015   23:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bagi orang beragama, apalagi bagi kalangan yang merasa “sangat beragama” (truly religious people), kata-kata di atas tentu terasa sangat kasar di hati dan langsung membuat getar amarah di hati. Sebelum Anda membabi buta dan balas mengumpat, persilahkan saya bertanya apa memang agama dan otak (daya fikir) tidak dapat disatukan?

Pendekatan “material approach” terhadap Agama, yang disampaikan Birgit Meyer dalam ceramah pengangkatannya sebagai Chair in Religious Studies, Utrecht University (2012), dalam hal ini menarik untuk mewangali perbincangan. Menurut beliau, kebanyakan orang beragama selama ini memahami agama dari perspektif “mentalistic understanding of religion” dimana agama, melulu, dipandang sebagai hal yang normative, “melangit,” pemaknaan nilai-nilai abstrak. Meyer kemudian mengajukan “material approach” sebagai alternatif mengkaji dan memahami agama. Material approach melihat agama dari sisi kematerian agama (materiality of religion).

Pertanyaannya adalah benarkah agama merupakan sesuatu yang materil? Apakah agama melulu berada “di sana”? Bagi Anda yang beragama, pernahkah Anda me”rasa”kan bagaiaman sesungguhnya me”meluk” agama?

Agama itu materil kawan. Atau lebih tepatnya, kita lah yang (harus)mematerilkan agama. Mengapa? Karena kita makhluk material. Dan saya yakin Tuhan pun mengerti hal tersebut. Karenanya, wahyu-wahyu yang Ia turunkan ke bumi harus diconvert dalam bentuk ibadah riil yang sesuai dengan kapabilitas manusia sebagai makhluk materil. Dan ibadah riil tersebut kemudian dijadikan barometer keimanan para makhluknya yang bernama manusia.

Agama itu tidak hanya di langit kawan.

Agama itu mengimani dan membuktikan dengan amal saleh. Agama itu tidak hanya di hati tapi di tangan yang memberi, di bibir yang mengucap kebenaran, di kaki yang melangkah menuju tempat-tempat baik, agama itu di meja kantor yang bersih dari transaksi korup, agama itu di makanan yang dihasilkan dari usaha yang benar, agama itu ada di sekitar kita. Di sini. Di dunia nyata ini.

Beragama berarti merasa, menghirup, melihat, mendengar, menyentuh zat-zat keduniawian Tuhan. Sehingga kita merasa bahwa Dia selalu berasama kita di dunia nyata ini. Bukankah ini yang dinamakan “muraqabatullah,” tingkatan tertinggi dari beragama?

Dalam prakteknya, manusia saat ini seringkali mematerialkan agama. Pernah lihat kaligrafi mewah di yang dijahit indah pada kiswah yang menutupi ka’bah? Pernah lihat ornamen-ornamen indah yang menghiasai masjid-masjid megah? Pernah menemukan foto guru spiritual di dompet seorang murid tarekat? Pernah melihat label halal di makanan-makanan yang dijual di supermartket?  Pernah tau bank-bank syariah atau perumahan syariah? Pernah menemukan “Quran perempuan,” “Quran laki-laki” yang dipasarkan oleh para penerbit di toko-toko buku Islami?

Ada yang salah? Saya kira kita tidak bisa melihat hal tersebut di atas dari perspektif salah-benar, tapi lebih kepada usaha manusia saat ini untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka.

Dalam hal ini, otak kita sangat berperan untuk bisa lebih memaksimalkan kita dalam beragama. Karena memang, beragama itu harus pake otak, kawan. Karena otak merupakan atribut penopang utama bagi spiritualitas seorang yang beragama.  Permasalahan klasik tentang mana yang harus didahulukan terlebih dahulu, beriman dahulu atau berfikir dahulu, menurut saya tidak lagi relevan dipertanyakan. Karena seharusnya keduanya berjalan bersama.

Kawan, selamat menikmati Agama!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun