Aku termasuk yang beruntung karena kurang dari Seminggu aku sudah mendapatkan pekerjaan. Hari Sabtu aku diwisuda, hari Senin dan Selasa aku sudah mengirim banyak lamaran. Hari Rabunya aku sudah dapat beberapa panggilan tes. Dan hari Jumat aku sudah diterima kerja.
Sungguh beruntungnya diriku. Saat Sarjana lain masih nganggur, tapi sudah mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang relatif singkat.
Hari Sabtunya (walaupun libur) aku diminta Manajerku untuk masuk kerja. Katanya banyak persiapan yang harus aku lakukan sebelum kerja hari Senin. Sungguh hebat manajerku, mau mengorbankan hari liburnya demi membimbing aku. Setelah aku datang di hari libur (Sabtu), ternyata beliau tidak bisa datang. Setelah aku hubungi, beliau ngak bisa datang karena ada urusan keluarga mendadak. Oke ngak apa-apa dalam hatiku. Mungkin ini sejenis plonco dari Sang Senior Kepada juniornya.
Hari Seninnya aku tidak membahasnya, karena aku sadar diri sebagai seorang junior. Lama-lama manejerku sering suka tidak masuk, dengan alasan sakit. Dia mengatakan padaku sebenarnya dia tidak sakit. Banyak pekerjaan sampingan diluar yang  membuat dia tidak bisa masuk Kantor. Bahkan dia mengajakku untuk ikut di proyek sampingan dia. Katanya kita harus bekerja dengan cerdas. Aku menolaknya secara halus. Sebab bagiku kerja cerdas itu, cerdas dalam membagi waktu.Â
Setiap harinya jam 9 pagi sampai Jam 5 sore itu haknya Kantor, seperti kewajiban kantor untuk membayar gaji kita. Kalau ingin ngobjek harus diluar jam  itu atau hari Sabtu dan Minggu. Tidak adil untuk kantor, gajinya diterima, tapi kita sibuk dengan objek sampingan. Bagiku itu bukan kerja cerdas, tapi kerja licik. Karena aku masih Junior aku diam saja, takut berdampak pada pekerjaanku. Aku tetap menghormati dia sebagai seorang manajer. Walaupun aku tahu dia bukan seorang pemimpin yang baik. Sebagai seorang senior, harusnya dia tidak memberikan contoh yang kurang baik pada juniornya. Sepertinya dia, senioritas yang kebablasan.