Mohon tunggu...
Fadhilah Aliyyah Widya
Fadhilah Aliyyah Widya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Kenali Toxic Parenting, untuk Menjadi Generasi Pemutus Mata Rantainya

7 Juli 2022   21:40 Diperbarui: 7 Juli 2022   22:08 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Saat mendengar kata "Toxic", hal pertama yang muncul di pikiran kita tentu saja adalah hal-hal yang buruk dan bersifat negatif. Seperti hal yang akan kita bahas yaitu toxic parenting yang menimbulkan dampak negatif pada anak. Sebelum membahas lebih jauh tentang toxic parenting kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu parenting dan apa yang dimaksud dengan toxic parenting.

Parenting merupakan suatu pola asuh orang tua terhadap anak, dan pengasuhan yang dimaksud meliputi cara mendidik, berkomunikasi, melindungi dan lain sebagainya. Dalam proses parenting perlu adanya interaksi total yang baik antara orang tua dengan anak agar tidak menimbulkan pola asuh yang toxic atau yang kita kenal dengan istilah toxic parenting.

Toxic parenting merupakan suatu tipe pola asuh yang salah dan dapat berpengaruh buruk pada perkembangan anak. Hal ini sering terjadi atas dasar keegoisan orang tua yang memperlakukan anak tanpa adanya rasa menghargai dan menganggap semua tindakan yang dilakukan kepada anaknya selalu benar sehingga membuat anak merasa tertekan karena kontrol berlebih dari orang tua.

Pola asuh yang toxic perlu untuk segera ditangani agar tidak menimbulkan luka yang mendalam bagi anak. Oleh karena itu kita harus mengetahui beberapa tindakan yang menjadi ciri dari toxic parenting sehingga kita dapat segera menyadari apabila terjadi pola asuh yang toxic. 

Pertama, hal yang seringkali menjadi ciri toxic parenting yaitu dari segi komunikasi, dimana anak terlalu dibatasi dalam menyampaikan pendapatnya dan hal ini seolah membuat komunikasi yang seharusnya dua arah menjadi satu arah saja dari orang tua ke anak. 

Dalam toxic parenting ini orang tua cenderung menganggap segala perkataan dan pendapat anak itu salah karena anak dianggap bodoh dan hanya perlu mengikuti perkataan orang tua. Kedua, orang tua tidak memenuhi kebutuhan emosional anak dan tidak peduli terhadap perasaan anak. 

Contohnya saat anak merasa sedih kemudian menangis, seharusnya orang tua melakukan pendekatan emosional untuk meredam rasa sedih anak dengan memvalidasi perasaannya kemudian bisa membantu anak untuk lebih tenang, bisa dengan mendengarkan keluh kesah anak, memberikan pendapat tentang masalah yang dialami anak, serta memberi sedikit sentuhan fisik baik dengan mengelus ataupun dengan memeluk anak. 

Namun orang tua dengan pola asuh toxic akan menganggap anak sebagai anak yang cengeng dan tidak menghargai apa yang dirasakan oleh anak bahkan seringkali saat anak sedih karena suatu masalah orang tua cenderung menghakimi anak. 

Sering saat kita menjumpai anak yang sedang menangis kemudian orang tuanya mengatakan "Gitu aja kok nangis sih?", "Dasar anak cengeng", "Itu kan salahmu sendiri", jika terus berlanjut maka hal ini akan menjadi akar dari toxic parenting. Ketiga, orang tua tidak menghargai pilihan anak karena menganggap pilihan orang tua merupakan pilihan yang terbaik bagi anaknya padahal anak memiliki hak untuk menentukan suatu pilihan dalam proses hidupnya.

Toxic parenting ini cenderung menjadikan orang tua sebagai pemegang kontrol penuh terhadap kehidupan anak. Tentu saja pola asuh seperti ini akan memberikan pengaruh buruk dalam perkembangan anak. 

Anak yang tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya lebih berpotensi untuk menjadi anak yang pemalu dan takut untuk berekpresi karena ia akan selalu berpikir bahwa apa yang akan ia sampaikan adalah hal yang salah sehingga anak juga akan mengalami kesulitan saat bersosialisasi. 

Anak dengan pola asuh toxic juga sulit dalam mengungkapkan dan mengekspresikan perasaan yang sedang ia rasakan karena takut akan penilaian orang lain terhadapnya seperti yang dilakukan oleh orang tuanya, saat anak mengekspresikan perasaannya ia takut orang lain menganggap hal itu berlebihan untuk diungkapkan dan berpikir bahwa tidak aka nada yang mendengarkannya sehingga anak akan cenderung memendam emosi yang dirasakannya. 

Toxic parenting ini juga membuat anak tidak bisa mandiri dalam menentukan pilihannya karena terbiasa mengikuti segala pilihan orang tua sehingga ia selalu takut dan ragu dalam menentukan pilihan.

Sebagai orang tua ataupun calon orang tua, kita perlu memahami dan mempelajari pola asuh yang baik untuk anak agar dapat memberikan dampak yang baik bagi perkembangan anak. Semua orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya, namun tidak dengan menerapkan toxic parenting karena hal ini justru menimbulkan pengaruh buruk terhadap perkembangan anak dan hubungan antara orang tua dan anak. 

Pola asuh yang sehat atau bisa disebut dengan istilah Gentle Parenting merupakan suatu pola asuh yang mengimplementasikan interaksi aktif antara orang tua dan anak, dimana orang tua memiliki kontrol dengan batasan sehat terhadap anak dan anak juga memiliki kebebasan dalam melakukan tindakan di bawah pengawasan orang tua. Hal ini akan lebih baik dari pada hanya meletakkan seluruh kotrol anak pada orang tua. 

Ada beberapa hal sederhana yang dapat dilakukan sebagai dasar untuk menerapkan pola asuh yang sehat diantaranya yaitu menghargai pendapat anak, orang tua menjadi pendengar yang baik untuk anak, memberi anak kebebasan berekpresi, memberikan anak hak untuk menentukan pilihan, membantu anak menyelesaikan masalah, memenuhi kebutuhan emosional anak serta banyak hal lain yang melibatkan interaksi positif antara anak dan orang tua.

Menjadi orang tua memang bukanlah hal yang mudah, dalam proses mengasuh anak juga perlu banyak belajar. Oleh karena itu kita perlu membangun hubungan baik antara orang tua dan anak agar bisa berproses dan belajar bersama. Pada dasarnya parenting merupakan suatu siklus yang akan terus berlanjut hingga generasi berikutnya, sehingga harus ada satu generasi yang mampu memutus mata rantai pola asuh yang buruk ini. Hal tersebut akan berpengaruh besar bagi generasi seterusnya agar mendapatkan pola asuh yang sehat dan menjadi generasi yang berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun