Mohon tunggu...
Achmad Fadel
Achmad Fadel Mohon Tunggu... Penulis - ❤️

Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di The Islamic College Sadra Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kritik terhadap Agnostisisme

12 Juni 2019   21:32 Diperbarui: 12 Juni 2019   21:41 2677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku seorang Agnostik, Sumber Gambar: http://bms75.blogspot.com

Agnostik atau agnostisisme adalah keyakinan yang tidak setuju dengan ajaran agama. Ajaran agama apapun baginya hanyalah budaya dan produk manusia itu, jadi tidak perlu memeluk suatu agama tapi agnostik biasanya tidak juga menolak keberadaan Tuhan.

Saya ingin menulis tentang agnostisme yang banyak muncul akhir-akhir ini. Saya kira atheisme tidak lagi membahayakan penganut-penganut agama karena masing-masing mereka sudah berusaha melakukan perdebatan dan membuat argumentasi membuktikan keberadaan Tuhan, dan sebagian besar memiliki penjelasan yang menarik.

Masalah (atheisme) itu saya anggap sudah selesai, apalagi atheisme hanya menggunakan pendapat fisikawan modern seperti Stephen Hawkins, Dawkins, dan sebagainya untuk menolak ketuhanan. Karena metode ini sama sekali tidak konsisten sebagaimana yang sudah kutulis pada artikel sebelumnya.

Apa yang 'menggetarkan' sedikit kepercayaan agama adalah agnostik (agnostisisme). Betapa tidak, agnostik bukan lagi berbicara tentang memercayai Tuhan atau tidak, tapi berbicara memeluk agama tertentu atau tidak sama sekali.

Bagi agnostik, "Okelah, saya memercayai Tuhan ada. Tapi.. maaf saya tidak bisa memeluk agama. Bagiku berbuat baik saja yang menurut akal kita baik. Tidak usah capek-capek ibadah yang hanya bersumber dari produk manusia."

Agnostik pasti akan menggetarkan iman seseorang yang kurang kuat. Apalagi yang merasa lelah dan merasa ibadah yang dilakukannya selama ini kurang bermanfaat bagi dirinya.

Kebanyakan agnostik adalah kekecewaan atas agama yang dianutnya. Karena tidak ada manfaat yang ia dapat dalam agamanya itu. Malah hanya paksaan-paksaan melakukan doa, gerakan, dan bacaan yang membuatnya lelah.

Meskipun beberapa agnostik tidak memeluk agama karena ia tidak mampu menemukan (membuktikan) secara rasional bahwa suatu agama itu berasal dari Tuhan.

Cara Berpikir Agnostik
Di sini saya ingin sedikit merenungi logika yang digunakan dalam menyimpulkan keyakinannya melalui beberapa faktor penyebabnya.

Pertama, agnostik menolak agama yang berasal dari Tuhan, benarkah agama itu hanya produk manusia belaka.

Tadi pada permasalahan keberadaan Tuhan yang sudah diterima oleh agnostik dan tidak perlu lagi dibuktikan di sini.

Sekarang setelah Tuhan dipercayai keberadaannya sebagai pencipta segala sesuatu yang ada di alam semesta ini (termasuk agama-agama itu, meskipun dengan perantara manusia) kita pasti mengetahui bahwa Tuhan itu Maha Sempurna dan memiliki semua sifat kesempurnaan yang diciptakannya seperti Maha Bijaksana dan Maha Adil.

Sebagaimana kita ketahui perbuatan kebijaksanaan dan keadilan itu tidak mungkin mengadakan dirinya sendiri. Tapi diberikan oleh yang memiliki kebijaksanaan dan keadilan meskipun melalui perantara-perantara.

Kalau Tuhan itu bijaksana apakah makhluk-makhluk cipataannya itu ada tanpa memiliki tujuan? Tentu memiliki tujuan, tapi tujuannya apa? Apakah tujuannya bersifat sempurna dan abadi atau yang rendah dan mudah hancur? Tentu yang sempurna dan abadi. Sampai sini kita sepakat.

Lalu, apakah Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu itu tidak menyiapkan kesempurnaan yang akan dicapai manusia itu? Pasti Dia menyiapkannya. Kemudian, kalau tujuan dari manusia telah ada, apakah manusia mengetahui semua cara-cara mencapai tujuan itu? 

Manusia sejak lahir tidak mengetahui apa-apa. Setelah ia sadar dan mengindrai alam sekitarnya baru ia mengetahui. Tapi yang ia bisa ketahui sekadar mencapai tujuan di alam dunia yang ia lihat. Indranya dan akalnya tidak sanggup menentukan cara-cara yang pasti mencapai tujuan asli (hakiki) manusia kesempurnaan dan keabadian.

Manusia bisa mengetahui Tuhan ada dalam kajian metafisika atau teologi. Tapi manusia dengan akalnya yang independen bisa mengaktualkan (mewujudkan) potensi dan kecenderungan sisi manusiawi manusia.

Untuk melakukan penyempurnaan itu pastilah Tuhan yang Maha Bijaksana mengirim suatu praktik dan cara menyempurna (mencapai tujuannya) bagi manusia. Karena Ajaran itu untuk manusia maka haruslah melalui manusia, itulah Nabi. 

Dengan demikian, Memercayai Tuhan, Konsekuensinya Memercayai Nabi dan Wahyunya, lalu Memercayai Agama itu sendiri

Kedua, alasan agnostik selanjutnya disebabkan banyaknya agama di dunia. Membuat kita sulit menentukan agama mana yang pantas untuk dianut.

Masalah kepantasan atau tidak di sini kita tidak bisa menyimpulkan bahwa tidak perlu memeluk salah satu dari sekian banyak agama.

Karena sebelum melakukan penyimpulan itu sebenarnya kita meyakini ada salah satu di antaranya agama yang benar. Berarti di sini sudah diyakini ada agama yang berasal dari-Nya meskipun belum diketahui. Ini sudah pembahasan lain, seseorang harus mengkaji agama dan terbuka dengam agama lain.

Ketiga, manusia sebagai makhluk tidak mampu berhubungan dengan pencipta, kata agnostik. Alasannya karena manusia itu lemah dan terbatas tidak mampu mencapai yang sempurna dan tak terbatas.

Benar hakikat ketuhanan tidak mungkin dicapai oleh siapapun, tapi kesempurnaan dan kehendak yang Maha Sempurna mampu memberikan Ilmu-Nya dan mencahayai seorang manusia yang memiliki maqam atau tingkatan yang dekat dengan Tuhan. Lagi pula dalam beberapa ajaran agama Tuhan memerantarai kesempurnaan-Nya dengan Jibril (Gabriel) untuk menyampaikan wahyu-Nya.

Keempat, masalah keadilan Tuhan. Beberapa orang menjadi agnostik karena menganggap Tuhan itu kejam dan immoral. Lihat saja keburukan itu, seperti mati, miskin, pencurian, sakit, dusta, dan lain-lain. Dari mana datangnya kalau bukan Tuhan.

Di sini agnostik menganggap kita berleha-leha saja tak usah memeluk agama. Tentu berleha-leha itu tidak baik, dalam urusan mencari kekayaan ataupun tujuan yang asli kita. Harus dicapai, sebagaimana keinginan manusia untuk abadi dan bahagia, maka pastilah manusia mampu mencapai kebahagiaan abadi itu.

Bila tidak sia-sia betul hidup ini yang diakhiri dengan kematian yang ketiadaan mutlak, tapi ini mustahil baik itu secara rasional maupun moral.

Masalah esensi moralitas di realitas ini adalah seperti cahaya, yang mana keburukan adalah sesuatu yang tidak dicipta atau tidak disinari oleh cahaya kesempurnaan, kebaikan, kekayaan, ataupun kehidupan. Tapi tak ada satupun yang tak disinari meskipun itu redup.

Agnostik tak mampu membedakan mana gelap mana terang, dan mana ada dan tiada.

Sekiranya agnostik mampu mengetahui bahwa kemiskinan adalah kurangnya kekayaan, Sakit adalah kurangnya sehat, keburukan adalah kurangnya cahaya kebaikan yang didapat karena kejauhan maqamnya, maka ia akan menganut suatu agama (benar) dan terus menjalaninya tanpa lelah karena yakin dan semangat menuju kesempurnaan serta keadilan Tuhan dan keadilan sistem alam semesta yang tegak di realitas ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun