Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Delegitimasi Pemberantasan Korupsi

23 September 2019   16:10 Diperbarui: 24 September 2019   10:42 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menabur bunga di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Aksi tersebut sebagai wujud rasa berduka terhadap pihak-pihak yang diduga telah melemahkan KPK dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru serta revisi UU KPK. (Antara Foto/Sigid Kurniawan)

Meskipun baru bergulir ke publik, drama proses revisi UU KPK sudah melewati babak akhir. Meskipun cepat dan terkesan terburu-buru, ajaibnya RUU KPK seolah tidak ada hambatan berarti di internal Parlemen untuk meloloskannya.

Ibarat tsunami yang mengguncang begitu cepat di tubuh KPK, dampaknya terasa memporakporandakan bahteranya.

Pada awalnya masyarakat difokuskan pada lemahnya kredibiltas pansel dalam menjaring para kandidat capim KPK. Semua kekuatan dialirkan demi tetap menjaga marwah dan kredibilitas KPK di tangan orang-orang yang tepat.

Data-data rekam jejak masing-masing capim seolah mental di bawah kuasa pansel, pun begitu dengan DPR saat melakukan uji kelayakan. Betapa tidak berartinya aspirasi masyarakat yang perjuangannya murni demi tetap tegaknya bahtera KPK untuk berlayar di tengah badai kekuasaan koruptif.

DPR seolah memposisikan dirinya bukan sebagai representasi rakyat, melainkan representasi kekuasaan. Otoritas dalam menentukan proses seleksi terhadap lembaga yang dilahirkan dari rahim reformasi tersebut dilaksanakan secara otoritatif.

Namun, seolah menghipnotis fokus masyarakat, secara senyap proses revisi UU KPK justru masuk tanpa permisi bahkan kini telah bereinkarnasi.

Tentu publik bertanya-tanya mengapa proses revisi UU KPK terkesan senyap sejak awal lalu muncul berlalari kencang di garis finish begitu cepat? Jika dibandingkan dengan rumitnya proses reformulasi suatu undang-undang, RUU KPK justru mulus tanpa cela sama sekali.

Drama Delegitimasi
Jika dicermati pernyataan demi pernyataan Fahri Hamzah tentang KPK, seolah merepresentasikan bahwa KPK merupakan lembaga yang penuh borok di mata Parlemen. Banyaknya anggota Parlemen yang menjadi korban keganasan mesin KPK seolah membangkitkan solidaritas anti KPK di tubuh Parlemen.

Kedudukan KPK yang terletak di luar dimensi kekuasaan, bangunan dan benteng yang kokoh (superbody power), senjata penyadapan yang mematikan, dan ketiadaan kewenangan SP3 yang memperkokoh konstruksi KPK menjadikan KPK di mata lingkaran kekuasaan sebagai kapal perang yang dapat meluluhlantakkan panggung kekuasaan.

Struktur kekuasaan yang cenderung empuk oleh berbagai fasilitas, menterengnya nama, kedudukan yang terhormat seolah retak oleh hantu bernama KPK.

Para kartel politik mulai mencari celah hingga lubang terkecil di tubuh KPK untuk dapat memetakan strategi mengguncang bahtera KPK oleh kiriman badai, jika perlu ditenggelamkan. Muncullah pandangan bahwa KPK tidak efektif dalam menaikkan angka indeks persepsi korupsi atau IPK.

Membangun korelasi bahwa penindakan KPK tidak efektif dalam mengurangi angka korupsi di Indonesia, program pencegahan yang bias, penyadapan yang melanggar HAM dan tanpa mekanisme yang jelas, OTT sebagai panggung drama, kasus-kasus pesanan dan masih banyak penggiringan opini untuk mendelegitimasi wajah KPK.

Oleh karena itu, solidaritas di tubuh Parlemen mampu menciptakan senjata yang dapat melumpuhkan KPK, revisi. Ibarat menciptakan ilusi seolah-olah memperkuat KPK, sebaliknya mengebiri dalam senyap. Substansinya dibangun seolah-olah kewenangan KPK melampaui kedudukan hukum.

Padahal semangat pembentukan KPK adalah kuatnya arus korupsi yang luar biasa destruktif memerlukan cara-cara yang luar biasa. Maka dibangunlah KPK dengan kewenangan yang luar biasa agar dapat melawan dan menjinakkan arus korupsi yang begitu ganas.

Menyambut Kematian KPK
Operasi senyap melumpuhkan KPK lewat jalan reformulasi adalah ilusi politik hukum yang terkontaminasi kartel politik. Jalan tersebut seyogyanya konstitusional namun, konfigurasinya justru menghilangkan esensinya.

Pertama, menginjeksi entitas baru ke dalam tubuh KPK bernama Dewan Pengawas yang hingga saat ini pembahasannya masih belum menemukan titik konsolidasi politik antara Presiden dan DPR.

Jika salah dalam mengkonstruksikan eksistensi Dewan Pengawas, hanya akan mendistorsi kerja-kerja KPK. Apalagi jika unsur Dewan Pengawas memiliki koneksi politik dengan lingkaran kekuasaan, hal ini justru hanya akan mengkerdilkan KPK di mata mafia hukum.

Kedua, penyadapan harus atas seizin Dewan Pengawas menjadikan instrumen tersebut penuh dengan lika liku perizinan. Tanpa izin Dewan Pengawas, penyadapan akan mental dan menghilangkan beberapa kepingan penting dalam mengungkap fakta kejahatan korupsi.

Hasil sadapan juga berpotensi bocor padahal, proses penyadapan selama ini sudah sesuai prosedur yang dibangun di dalam internal KPK, sehingga akuntabilitasnya terjaga.

Ketiga, lahirnya kewenangan SP3 justru mendelegitimasi kerja-kerja KPK yang harus mengungkap kasus besar. Kesesatan persepsi yang terbangun adalah kejahatan korupsi disamakan levelnya dengan kejahatan biasa yang membutuhkan SP3.

Padahal, kejahatan korupsi berada pada level kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang penanganannya tidak sesederhana mengungkap kejahatan biasa.

Besarnya pengaruh orang-orang besar di dalamnya, keterlibatan orang-orang penting beserta tekanannya, masuknya sektor swasta yang mempererat alur kompleksitasnya, dan berbagai macam kerumitan di dalamnya membutuhkan fokus, energi dan waktu yang sangat panjang untuk mengungkap alur demi alur kejahatan korupsi.

Selain itu, opini yang menyebut penindakan KPK tidak efektif mengurangi korupsi adalah keliru dan tidak apple to apple jika dibandingkan dengan jenis kejahatan lainnya. Mereka tidak sadar bahwa kejahatan korupsi yang berada pada level organized crime akan terus bertransformasi dan beregenerasi layaknya virus

 Trias Kuncahyono menyebutkan bahwa korupsi ibarat diabetes yang hanya bisa dikontrol, tetapi tidak dapat dihilangkan secara total. Jika tidak memiliki mekanisme penanganan yang baik, dia akan menggerogoti seluruh organ tubuh.

Begitupula dalam suatu negara, jika mekanisme penanganan korupsi hanya melihat efektif tidaknya hasilnya, sesungguhnya sampai kiamat pun tidak akan menemui jawabannya.

Kelima, mereparasi independensi KPK untuk direposisi di bawah naungan kekuasaan eksekutif menjadikan pemberantasan korupsi berada di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Selain itu, perekrutan pegawai melalui jalur ASN dan hegemoni perekrutan penyelidik, penyidik dan penuntut KPK dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan merupakan bentuk anomali eksistensi KPK yang sejak awal pembentukannya merupakan dampak tidak optimalnya kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi. 

Yang terjadi malah sebaliknya KPK tidak lagi menjadi lembaga supervisi dan sentra koordinasi alias trigger mechanism, melainkan inferior di bawah hegemoni eksekutif.

Keenam, inferioritas KPK juga semakin nyata terasa manakala dalam proses penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Kondisi tersebut menjadikan KPK kehilangan ruh dan identitasnya.

Maka wajar saja jikalau masyarakat berbondong-bondong menyalakan lilin di tengah gelapnya masa depan pemberantasan korupsi. Lebih tepatnya menyambut kematian KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun