Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Suramnya Wajah KPK

19 September 2019   19:15 Diperbarui: 21 September 2019   19:04 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi di depan gedung KPK (Gambar: Tribunnews - Irwan Rismawan)

Kejutan demi kejutan tersaji dalam bab akhir panggung politik di hadapan publik yang menanti akhir kisah periode kekuasaan parlemen yang cukup menguras psikologi dan emosionalitas rakyat. 

Alih-alih menjadi happy ending, publik justru dikejutkan dengan twist yang membangkitkan gelora anarki. Kekuasaan parlemen seolah ingin memberikan kado spesial kepada publik di akhir masa kekuasaannya. Bukannya menjadi akhir yang manis, kado tersebut penuh dengan tipu daya muslihat kekuasaan.

Tengoklah betapa terburu-burunya kekuasaan Parlemen ingin mengesahkan RUU KUHP yang digadang-gadang antikolonial padahal substansinya adalah neo-kolonial. RUU Pertanahan yang penuh dengan ironi mengorbankan hak-hak masyarakat atas tanah dan tidak mengindahkan konflik agraria demi memberi stimulus pada mulusnya investasi. 

Terakhir penulis sangat terkejut dan harus memeras logika atas kemunculan revisi UU KPK secara senyap yang langsung disetujui oleh Parlemen. Publik kemudian memberi judul "corruptor fight back."

Tanda Tanya Bagi Parlemen

Belum selesai keterkejutan penulis yang sibuk mempelajari RUU KUHP dan RUU Pertanahan, kini kekuasaan Parlemen seolah dengan mudahnya telah mengesahkan RUU KPK. 

Sebuah twist plot dari bab akhir kisah kekuasaan Parlemen saat ini yang penuh dengan jumpscare bagi publik seolah betapa horornya konsolidasi politik dalam proses reformulasi regulasi terkait sistem penegakan hukum di Indonesia. 

Semua digenjot secara terburu-buru tanpa adanya kajian yang matang dan penuh dengan intrik politik. Mengingat pandangan Mahfud MD, bahwa undang-undang merupakan produk politik sehingga konfigurasinya berkelindan dengan struktur politik di dalamnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa reformasi sistem penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari struktur politik yang berkuasa.

Dalam membangun sistem penegakan hukum di Indonesia tidak hanya dengan melihat secara terbatas di dalam ruang-ruang catur wangsa saja sebagaimana disebutkan sebagai integrated criminal justice reform. 

Akan tetapi, sistem penegakan hukum juga sudah dibangun sejak awal secara politis sebagai suatu politik hukum dalam proses formulasinya di lembaga Parlemen bersama-sama dengan Pemerintah. 

Proses tersebut menurut Muladi merupakan dua proses rotasi yang terus berputar dalam sistem penegakan hukum, yakni penegakan hukum in abstracto sebagai proses formulasi menemukan formula yang tepat dalam membangun sistemnya dan penegakan hukum in concreto sebagai proses aktual dalam menjalankan sistem peradilan pidana yang terintegrasi pada ruang-ruang aparat penegak hukum.

Oleh karena itu, dalam agar Indonesia dapat menemukan bangunan yang tepat bagi proses penegakan hukum antikorupsi yang baik, dibutuhkan komitmen politik yang baik (political will) dipusaran kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam merumuskan masa depan penegakan hukum antikorupsi yang baik. 

Selama konfigurasi politik di dalamnya cenderung terkontaminasi dengan kartel politik, adanya kepentingan golongan demi membuat celah yang rapuh pada tubuh penegakan hukum, adanya niatan membangun penegakan hukum yang inferior pada kekuasaan dan buta terhadap sisi keadilan dan hati nurani publik terkait perumusannya, bisa dipastikan masa depan penegakan hukum antikorupsi laksana singa yang mengeong layaknya kucing yang kurus kelaparan.

Satu hal yang penuh dengan tanda tanya bagi Parlemen adalah adanya dugaan cacat prosedur kala menyodorkan revisi UU KPK ke meja legislasi. Sebagaimana hasil kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), bahwa revisi UU KPK tidak masuk dalam RUU prioritas dalam Prolegnas 2019 yang telah disepakati antara Parlemen dan Pemerintah. 

Jika demikian yang terjadi, maka kekuasaan legislatif telah melanggar Pasal 45 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal a quo menyatakan bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan prolegnas. 

Ketiadaan RUU KPK dalam prolegnas namun muncul ke puncak klimaks periode kekuasaan Parlemen seolah menandakan adanya penyelundupan hukum diantara proses politik hukum di Indonesia. 

Sebuah tanda tanya besar bagi Parlemen yang seolah bersemangat layaknya jihad bersama demi merekonstruksi wajah pemberantasan korupsi yang penuh borok di mata Parlemen.

Selain itu, dapat pula menjadi pertanyaan bagi masa depan harmonisasi pemberantasan korupsi adalah, adanya ketentuan delik tindak pidana korupsi (tipikor) di dalam RUU KUHP yang juga tengah dibahas dan akan segera disahkan oleh Parlemen. 

Kondisi ini berdampak pada proses harmonisasi regulasi tipikor yang keliru. Seharusnya Parlemen tidak perlu terburu-buru demi mengejar citra dan monumen keberhasilan periodenya dalam mengesahkan RUU strategis tersebut.

Hal yang perlu dilakukan adalah fokus membenahi RUU KUHP kemudian melakukan harmonisasi terhadap RUU yang berkaitan dengan penegakan hukum, yakni RUU KUHAP. 

Setelah keduanya harmonis baru fokus dialihkan pada pembenahan UU Tipikor yang saat ini belum komprehensif mengidentifikasi berbagai macam kualifikasi delik tipikor sebagaimana perkembangan modus korupsi dan rekomendasi Konvensi Anti Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Setelah semuanya selesai baru Parlemen dapat fokus bersama-sama dengan Pemerintah dengan masukan KPK untuk mereformulasi wajah KPK di masa yang akan datang.

KPK Menuju Kesuraman

Keadaan tersebut di atas menandai gelapnya gedung KPK yang diselimuti mendung operasi pelemahan KPK. Ada beberapa poin menurut penulis yang secara jelas merupakan bentuk pelemahan sekaligus mengubah wajah KPK menjadi suram. Pertama, praktik penyadapan sebagai senjata ampuh dalam proses pemberantasan tipikor diubah menjadi harus atas izin dewan pengawas. 

Mereset penyadapan dan eksistensi dewan pengawas menjadi dua poin krusial yang saling terkait. Selama ini proses penyadapan di KPK dilaksanakan sebagaimana SOP internal dan sistem yang sudah berjalan baik. 

Kerahasiaan hasil penyadapan merupakan bentuk akuntabilitas yang harus dijaga oleh KPK. Jika Dewan Pengawas memiliki koneksi dengan partai politik, aparat penegak hukum dan lingkaran kekuasaan maka kekhawatiran akan bocornya informasi dan hasil penyadapan akan semakin menguat. Namun jika Dewan Pengawas berasal dari pegiat antikorupsi maka kekhawatiran tersebut dapat diminimalisir.

Kedua, penuntutan yang harus berkoordinasi dengan Kejagung bukanlah bentuk checks and balances. Mengingat KPK sudah memiliki sistem penuntutan yang baik maka bentuk koordinasi yang dimaksud dapat mendisrupsi proses penuntutan di dalamnya. 

Ketiga, kewenangan SP3 yang praktis menyabotase senjata andalan KPK yang pada UU KPK saat ini tidak berwenang menerbitkan SP3. Tentunya kewenangan tersebut berpotensi menimbulkan praktik jual beli perkara mengingat besarnya pusaran kekuasaan yang harus dihadapi oleh KPK jika berhadapan dengan koruptor.

Keempat, KPK tidak lagi menjadi lembaga independen, melainkan lembaga pemerintah di bawah eksekutif. Hal ini merupakan bentuk pengkerdilan KPK dan berpotensi mendapat tekanan dari lembaga eksekutif jika KPK menyelidiki dugaan korupsi di tubuh eksekutif. 

Poin tersebut juga disinergikan dengan unsur pegawai KPK berasal dari PNS dan PPPK atau ASN sekaligus menghapus penyidik independen. Hal ini akan mematikan wadah pegawai KPK yang merupakan pengawas secara tidak langsung terhadap setiap tindak tanduk pimpinan KPK. 

Jika ASN berani mengkritik pimpinan, bukan tidak mungkin akan mengancam karirnya. Selain itu, hapusnya penyidik independen membuat KPK bergantung pada penyidik isntitusi lain yang bisa saja tidak sinergi dengan desain dan pola penindakan di dalam kerangka kerja KPK.

Kelima, mengebiri kewenangan KPK untuk menangani perkara yang meresahkan masyarakat (dilakukan penegak hukum atau penyelenggara negara yang meresahkan masyarakat) jika menyangkut kerugian negara di bawah Rp. 1 Miliar. 

Hal tersebut menjadi celah bagi para koruptor dalam mengonstruksikan modus operandinya. Selain kelima poin diatas, wajah suram KPK semakin nyata terasa kala pimpinan KPK yang baru memiliki rekam jejak dan komitmen pemberantasan korupsi yang suram. 

Tanpa mengurasi rasa hormat penulis terhadap kinerja pansel capim KPK, harapan dan keraguan terhadap masa depan pemberantasan korupsi bercampur aduk. Panjangnya pembahasan tersebut akan dilanjutkan oleh penulis pada tulisan selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun