Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

72 Tahun PBB dan Tantangan Krisis Myanmar

25 Oktober 2017   00:20 Diperbarui: 25 Oktober 2017   01:12 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
asia.nikkei.com (Photo by Simon Roughneen)

Tepat hari ini 72 tahun yang lalu eksistensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir dari suatu konsensus politik antar negara-negara di seluruh dunia yang menghendaki revolusi konstalasi hubungan antar bangsa ke arah tatanan baru. Sebuah pencapaian luar biasa mengingat rezim sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa justru gagal dan tak mampu membendung derasnya ultranasionalisme yang digalang oleh negara-negara poros (Italia, Jerman dan Jepang) sebagai pemicu pecahnya perang dunia kedua. 

Kekalahan Jerman dan Jepang menjadi awal dari sebuah era baru peradaban manusia dalam konteks bangsa-bangsa di dunia yang menginginkan suatu revolusi interelasi demi tercapainya kesejahteraan dan perdamaian dunia. Pasca perang dunia kedua, negara-negara di dunia mulai menyadari arti penting nilai-nilai kemanusiaan dan internasionalisme bangsa.

Konsepsi HAM

Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi suatu konsensus yang holistik dan fleksibel diserap oleh berbagai ragam ideologi bagi setiap bangsa yang berarti keberhasilan menyatukan persepsi dan reintegrasi di tengah-tengah arus ideologi yang dibawa oleh masing-masing negara dikarenakan nilai-nilai tersebut sudah mengakar (custom) di seluruh sendi kehidupan manusia di seluruh dunia. Semangat merekonstruksi nilai-nilai fundamental juga tak lepas dari perkembangan revolusi sosial, politik dan ekonomi yang dihasilkan oleh berbagai perkembangan ideologi, misalnya peran pemikiran Karl Marx yang begitu memorial hingga menggugah semangat revolusi. 

Kemudian mereposisi konsepsi-konsepsi HAM yang oleh beberapa filsuf, seperti John Locke, Montesquieu dan J.J. Rousseau pada masanya sukses mempengaruhi semangat revolusi berupa lahirnya norma-norma HAM, seperti English Bill of Rights (1689) di Inggris, American Declaration of Independence (1776) dan the Bill of Rightsdi Amerika serta Declaration des droits de l'homme du citoyen (1789) di Perancis (Nasution dan Patra, 2006). Perkembangan norma-norma HAM tersebut juga tak bisa dilepaskan dari aspek historis masyarakat dunia sejak beberapa abad silam, terutama dari dogma-dogma agama yang terkandung dalam setiap kitab-kitab suci, namun pelembagaan nilai-nilai tersebut baru tercapai saat kelahiran Piagam Madinah (622) oleh Nabi Muhammad SAW dan Magna Charta (1215) oleh Raja John di Inggris.

Kelahiran PBB menjadi tonggak baru kehidupan antar bangsa sebagai bagian dari masyarakat dunia. Nilai-nilai kemanusian kemudian dikristalisasi dan dipatenkan menjadi suatu norma yang mengikat seluruh delegasi menjadi suatu prinsip-prinsip kehidupan bersama. 

Tiga tahun setelahnya pada tanggal 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, prinsip-prinsip tersebut disepakati bersama menjadi "Universal Declaration of Human Rights"(Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia; disingkat UDHR). UDHR sebagai kompilasi prinsip-prinsip hidup kemanusiaan atau hak asasi manusia (HAM), merupakan suatu komitmen bersama seluruh bangsa demi menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Perkembangan Instrumen-Instrumen HAM

Keberadaan PBB berimplikasi pada aktifnya pergaulan antarbangsa, maka untuk ditegakkannya prinsip-prinsip HAM, juga dibutuhkan komitmen bersama. Perjanjian Internasional adalah sumber hukum yang mengikat secara resiprokal bagi para negara-negara peserta (parties) dalam merumuskan Perjanjian Internasional (treaty) pasca Konvensi Wina (1969). 

Penegakan HAM menjadi lebih terarah seiring lahirnya instrumen-instrumen penegakan HAM, antaralain Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide(Konvensi Genosida/1948), International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR/1966), Convention on the Elimination of all Forms of Discrimantion Against Women(CEDAW/1979), International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD/1965), Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (commonly known as the United Nations Convention against Torture (UNCAT/1985), the Rome statute of  the International Criminal Court (Statuta Roma/1998) dan lain-lain.

Lahirnya berbagai macam instrumen HAM menandakan komitmen yang utuh antarbangsa terhadap pemenuhan HAM. Kovenan Hak Sipil dan Politik merupakan instrumen yang memuat hak-hak fundamental bagi masyarakat secara individual yang wajib dijaga dan diberikan oleh negara, misalnya the right to life, right to free from torture or to cruel, inhuman and degrading treatment or punishment, right to free from slavery, right to liberty of movement and freedom to choose his residence dan lain-lain. Beberapa norma-norma ICCPR di atas merupakan HAM yang sangat fundamental dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun (non-derogable rights), termasuk oleh kekuasaan negara.

Masalah Rohingya: Sebuah Tantangan

Eskalasi konflik etnis antara Pemerintah Myanmar dan Suku Rohingya sebagai krisis kemanusiaan tidak terlepas dari kebijakan segregasi Jenderal Ne Wing Tahun 1982 yang memaksa terjadinya diskriminasi etnis dan persekusi di Rakhine, khususnya Suku Rohingya hingga meluas pada aksi pembersihan etnis, sehingga Suku Rohingya dianggap sebagai warga negara ilegal (stateless persons). Kekerasan yang membabi buta terhadap Suku Rohingya telah dikategorikan sebagai aksi genosida. 

Pasal 2 konvensi menyatakan genosida berarti perbuatan dengan tujuan menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, sebuah bangsa, etnis, ras, dan kelompok agama dengan cara membunuh atau membatasi hak-hak dan kebebasan mereka. Konvensi ini juga menyebutkan, di bawah mandat Pasal 6 dan 8 Piagam PBB 1945, PBB mempunyai tanggung jawab melakukan tindakan untuk melindungi sebuah populasi dari genosida dan kejahatan kemanusiaan lain. Salah satu prosedurnya melalui resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB. Baca: Kendala PBB Hentikan Genosida

Berbagai langkah-langkah konkrit sudah dilakukan oleh PBB lewat 2 resolusi yang mereka keluarkan. Alih-alih PBB mengambil upaya perdamaian justru hasilnya jauh api dari panggang akibat hak veto yang dimiliki oleh China dan Rusia yang enggan menginginkan PBB mencampuri urusan internal dalam negeri. Terlebih pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menolak resolusi DK PBB. Sebuah kondisi paradoks atas titel Nobel Perdamaian yang disematkan padanya.

Lemahnya kewenangan intervensi DK PBB atas berbagai prosedur yang menghambat dikarenakan perbedaan persepsi anggota DK tetap yang dilandasi kepentingan nasionalis masing-masing anggota tetap, sehingga investigasi yang menyatakan bahwa telah terjadi genosida oleh pemerintah Myanmar tidak akan efektif tanpa persetujuan anggota tetap DK PBB. 

Pada akhirnya penegakan HAM berupa penegakan UDHR, ICCPR, Konvensi Genosida dan instrumen HAM lainnya masih menjadi Pekerjaan Rumah bagi PBB, terutama masih adanya perbedaan persepsi mengenai kejahatan HAM oleh anggota-anggota DK PBB yang memiliki kewenangan interventif bagi negara-negara pelaku kejahatan HAM, terlebih jika para anggota DK PBB masih memiliki kepentingan-kepentingan ideologis maupun politis yang mengekang kewenangan PBB bertindak memerangi kejahatan HAM. 

Tidak heran jika fokus PBB saat ini adalah mengayomi para pengungsi lewat UNHCR dan beragam bantuan kemanusiaan ketimbangan perjuangan diplomatik dan politik kemanusiaan yang tak kunjung menemui hasil. Jika krisis di Rakhine nantinya tak kunjung usai, maka ke depan, preseden tersebut akan semakin menjadi contoh bagi bibit-bibit kejahatan HAM, sehingga tantangan bagi PBB akan semakin meluas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun