Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

72 Tahun PBB dan Tantangan Krisis Myanmar

25 Oktober 2017   00:20 Diperbarui: 25 Oktober 2017   01:12 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
asia.nikkei.com (Photo by Simon Roughneen)

Masalah Rohingya: Sebuah Tantangan

Eskalasi konflik etnis antara Pemerintah Myanmar dan Suku Rohingya sebagai krisis kemanusiaan tidak terlepas dari kebijakan segregasi Jenderal Ne Wing Tahun 1982 yang memaksa terjadinya diskriminasi etnis dan persekusi di Rakhine, khususnya Suku Rohingya hingga meluas pada aksi pembersihan etnis, sehingga Suku Rohingya dianggap sebagai warga negara ilegal (stateless persons). Kekerasan yang membabi buta terhadap Suku Rohingya telah dikategorikan sebagai aksi genosida. 

Pasal 2 konvensi menyatakan genosida berarti perbuatan dengan tujuan menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, sebuah bangsa, etnis, ras, dan kelompok agama dengan cara membunuh atau membatasi hak-hak dan kebebasan mereka. Konvensi ini juga menyebutkan, di bawah mandat Pasal 6 dan 8 Piagam PBB 1945, PBB mempunyai tanggung jawab melakukan tindakan untuk melindungi sebuah populasi dari genosida dan kejahatan kemanusiaan lain. Salah satu prosedurnya melalui resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB. Baca: Kendala PBB Hentikan Genosida

Berbagai langkah-langkah konkrit sudah dilakukan oleh PBB lewat 2 resolusi yang mereka keluarkan. Alih-alih PBB mengambil upaya perdamaian justru hasilnya jauh api dari panggang akibat hak veto yang dimiliki oleh China dan Rusia yang enggan menginginkan PBB mencampuri urusan internal dalam negeri. Terlebih pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menolak resolusi DK PBB. Sebuah kondisi paradoks atas titel Nobel Perdamaian yang disematkan padanya.

Lemahnya kewenangan intervensi DK PBB atas berbagai prosedur yang menghambat dikarenakan perbedaan persepsi anggota DK tetap yang dilandasi kepentingan nasionalis masing-masing anggota tetap, sehingga investigasi yang menyatakan bahwa telah terjadi genosida oleh pemerintah Myanmar tidak akan efektif tanpa persetujuan anggota tetap DK PBB. 

Pada akhirnya penegakan HAM berupa penegakan UDHR, ICCPR, Konvensi Genosida dan instrumen HAM lainnya masih menjadi Pekerjaan Rumah bagi PBB, terutama masih adanya perbedaan persepsi mengenai kejahatan HAM oleh anggota-anggota DK PBB yang memiliki kewenangan interventif bagi negara-negara pelaku kejahatan HAM, terlebih jika para anggota DK PBB masih memiliki kepentingan-kepentingan ideologis maupun politis yang mengekang kewenangan PBB bertindak memerangi kejahatan HAM. 

Tidak heran jika fokus PBB saat ini adalah mengayomi para pengungsi lewat UNHCR dan beragam bantuan kemanusiaan ketimbangan perjuangan diplomatik dan politik kemanusiaan yang tak kunjung menemui hasil. Jika krisis di Rakhine nantinya tak kunjung usai, maka ke depan, preseden tersebut akan semakin menjadi contoh bagi bibit-bibit kejahatan HAM, sehingga tantangan bagi PBB akan semakin meluas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun