Mohon tunggu...
FilsufMuda
FilsufMuda Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Lepas

gak mau jelasin apa apalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebahagiaan yang Diraih dengan Penghayataan

7 Januari 2021   14:08 Diperbarui: 7 Januari 2021   14:18 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan saya dibawah ini adalah hasil editan dari admin "PikiranKita | Media Penulisan dan Edukasi Pemikiran"

Tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa manusia dalam pengalaman hidupnya niscaya akan menemui banyak dikotomi baik itu suka atau duka, suka atau duka, dan masih banyak lagi yang kesemuanya bisa kita temukan ketika kita menjalani hidup dengan satu tujuan yaitu kebahagiaan itu sendiri. . Tidak sedikit dari kita akan banyak bertemu dalam sebuah 'perjumpaan' dan ternyata, untuk mencapainya sangatlah rumit. Ada keterikatan yang perlu dan harus dilepaskan, dan kesinambungan waktu dan perencanaan yang tidak sesuai dengan keinginan kita dalam kenyataan. Perjumpaan tersebut membuatnya seolah-olah diri merasa tidak mampu mengungkap tanda tanya tentang bagaimana menjalani jalan kebahagiaan tanpa harus mengalami penderitaan.

Bagi saya, penting untuk melihat aturan atau pemikiran para stoik sebagai dasar untuk memacu semua pengalaman ini menjadi bermakna. Dengan kata lain, meskipun pengalaman tersebut ada, namun bisa menjadi kekayaan bersama jika diterima sebagai batu loncatan menuju arah yang lebih harmonis menuju kebahagiaan itu sendiri. 4 prinsip etis ketabahan akan menjadi gagasan utama dalam makalah ini sebagai tawaran terkait hidup bahagia menurut stoics

Terima prinsip Pengadaan

Dalam pemikiran kaum Stoa, koherensi atau kontinuitas pada awalnya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Tuhan sebagai wujud dari semua realitas di dunia ini. Melalui padanan ini, Tuhan dipahami sebagai logo asli dari semua realitas manusia. Ada dua kajian untuk memahami Tuhan dalam ajaran etika Stoa, yaitu yang pertama adalah kesatuan yang nyata dengan ciptaan-Nya, yaitu sebagai pelengkap segala aktivitas dan kehidupan. Kedua, melalui materi Dia memanifestasikan dalam keanekaragaman dan juga perubahan. Oleh karena itu, keberadaan kedua prinsip atau pemikiran tabah tentang keberadaan Tuhan dengan cara ini merupakan wujud kemiripan seluruh dinamika manusia, karena sulit diprediksi bahkan muncul tanpa dipastikan wujudnya.

Pepatah salah satu filsuf tabah bernama Seneca berbunyi, "Manusia tidak memiliki kekuatan untuk memiliki apa pun yang dia inginkan, tetapi dia memiliki kekuatan untuk tidak menginginkan apa yang tidak dia miliki, dan dengan senang hati memaksimalkan apa yang dia terima." Dengan kata lain, ungkapan Seneca menyiratkan kesiapan manusia untuk menanggapi Tuhan dan semua realitas dan dinamika dalam ciptaan-Nya. Oleh karena itu, manusia seharusnya tidak hanya "tahu akan rencana", tetapi juga harus siap menerima ketika rencana tersebut gagal karena misteri yang muncul akibat hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya. Relasi mendatangkan hujan, badai, banjir, ataupun fenomena alam, mau tidak mau kita harus siap menerima hal tersebut.

Kebijaksanaan sebagai Ketertiban

Titik awal untuk mencapai hidup bahagia adalah hidup dengan akal sehat. Kita juga, sebagai makhluk rasional, harus memilih sesuai dengan apa yang sebenarnya akan terjadi (asalkan kita dapat mengetahui apa yang akan terjadi, yang jarang mungkin - manusia bukanlah dewa; hasil dari semua proses tidak pasti bagi kita) karena ini sepenuhnya baik hati dan rasional. Ketika kita tidak bisa mengetahui akibatnya, kita harus memilih sesuai dengan apa yang biasanya atau biasanya tujuan alam, seperti yang kita lihat dari pengalaman apa yang biasa terjadi di alam. Sejauh ini penekanannya hanya pada satu komponen rumus Stoa untuk tujuan atau akhir kehidupan, "Pilihan rasional atas segala sesuatu menurut alam." Hal lain yang perlu ditekankan adalah bahwa seleksi rasional - bukan pencapaian - dari hal-hal inilah yang membentuk kebahagiaan.

Menjaga alam

Prinsip ketiga Stoicisme adalah kesatuan yang harmonis dengan alam semesta. Menyesuaikan dengan hukum alam akan membuat manusia berjalan sesuai dengan kemauannya. Ada cerita menarik dari Epictetus dimana suatu saat kakinya dipelintir dan dipatahkan oleh tuannya. Namun, Epictetus hanya tersenyum dan tidak merasa sedih, khawatir, atau kecewa sedikit pun. Apa yang dilakukan Epictetus adalah bentuk atraxia atau keadaan yang tidak bergantung pada apapun. Dari cerita ini, dapat dikatakan bahwa ketika Tuhan telah bersentuhan dengan ciptaan-Nya, maka kita mau tidak mau harus berharap agar seluruh kombinasi alam ikut serta dalam pembentukan diri kita sendiri. Jika pohon memiliki satu musim untuk merontokkan daunnya, demikian pula manusia akan menunggu waktu untuk jatuh di medan perang. Oleh karena itu bersiaplah untuk terus bertindak dengan baik dalam segala situasi dan bersiaplah untuk menerima kenyataan sebagai persatuan baik dengan alam maupun Tuhan sebagai makhluk.

Semua keadaan memiliki penyebab

Prinsip ini tampaknya menjadi inti dari etika Stoic. Itu membuat kita berpikir bahwa semua realitas tidak pernah terpecah tanpa koherensi dan kontinuitas, baik karena transendental maupun alam. Semuanya dipersatukan demi formasi paripurna. Untuk itu yang terpenting bukan lagi memikirkan tentang baik dan buruk, senang atau sedih, dan berbagai dikotomis, tetapi menjaga dan mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi. Sehingga akan merangsang manusia untuk mulai berfikir untuk siap menghadapi segala hal. Memilih dan memahaminya melalui akal adalah cara manusia sebagai makhluk cerdas, mempersiapkan diri sepenuhnya untuk kebahagiaan yang ingin mereka raih.

Empat kebajikan yang diajarkan oleh kaum stoa adalah kebajikan, di mana masing-masing asas mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat dicapai melalui harmoni dan dinamika dengan semua ciptaan di alam. Keutamaan ini sejenak mengajak kita untuk tetap sadar akan realitas dan meski ada dikotomi dalam pengalaman itu sendiri. Pastikan selalu berpedoman pada akal, yaitu mengajak segenap diri manusia untuk menghargai dan selalu siap menerima kehidupan yang telah diatur oleh penguasa dan juga hubungannya dengan ciptaan.

Kuy Baca juga, untuk nambah wawasan PikiranKita:

  1. Relasi antara Fitrah Manusia dan Realitasnya

  2. Coretan Singkat Tentang Manusia

  3. Penjelasan Singkat, Apa itu Ekofeminisme?

  4. Albert Camus: Pemikiran tentang Absurditas (Ketidakpastian)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun