Mohon tunggu...
Fachrul Khairuddin
Fachrul Khairuddin Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Terus Menulis!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sejarah Pemberontakan Selalu Berujung Pertumpahan Darah

1 Oktober 2017   10:09 Diperbarui: 1 Oktober 2017   11:21 4131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eksekusi mati Katosuwiryo (Foto: Buku Fadli Zon)

Sejarah pemberontakan selalu berujung darah. Pun sekira 1.370 tahun silam, pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah dari Dinasti Umayyah. Tentara Kekhalifahan Yazid memenggal kepala Husein bin Ali dalam sebuah peperangan di Karbala, Iraq.

Para algojo itu 'tak iba sama sekali bahwa Husein yang dipenggalnya adalah cucu Nabi Muhammad dan anak kandung mantan Khalifah, Ali bin Abi Thalib. Dalam pikiran mereka hanya satu: Husein adalah pemberontak. Kepala Husein lantas dibawa ke hadapan Khalifah Yazid.

Saat Dinasti Umayyah dipimpin Khalifah Abdul Malik bin Marwan, peristiwa berdarah kembali terjadi. Tentara Kekhalifahan Abdul Malik yang dipimpin Al Hajjaj bin Yusuf mempersekusi Abdullah bin Zubair. Mereka mengepung rumah Ibnu Zubair di Mekkah dan membunuhnya serupa gerombolan singa yang ramai-ramai menggerogoti seekor rusa.

Al Hajjaj dan pasukannya 'tak iba sama sekali bahwa Abdullah bin Zubair yang dibunuhnya adalah keponakan Nabi Muhammad, Komandan tentara Muslim saat perang melawan kafir Quraisy, penghapal dan Ketua Panitia pembukuan Al Qur'an, serta periwayat hadits. Yang ada di pikiran mereka satu saja: Abdullah bin Zubair adalah pemberontak. Mayat Abdullah bin Zubair kemudian dikembalikan kepada ibunya untuk dimakamkan.

Waktu berjalan, sejarah pemberontakan dan darah terjadi hampir di semua belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada 1950-an, barisan mantan pejuang memberontak, mereka hendak mendirikan negara Islam. Satu per satu dedengkotnya kemudian ditangkap dan dibunuh.

Di Jawa, ada Kartosuwiryo yang ditembak mati. Presiden Soekarno sangat sedih karena Kartosuwiryo adalah teman masa kecilnya. Tapi lagi-lagi rasa iba harus diabaikan, pemberontak tetaplah pemberontak. Di pulau Sulawesi, ada Qahar Mudzakkar yang diberondong peluru TNI.

Lima belas tahun kemudian, peristiwa 1965 terjadi. Kali ini pemberontakan diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Jutaan anggotanya, dari pimpinan sampai anggota, dipersekusi dan dibunuh. Yang beruntung kemudian hanya dipenjara dan dibebaskan pada 1978. Sejarahnya masih simpang-siur hingga kini. Pun demikian, senjata dan darah tidak pernah basa-basi. Sudah cukup menjadi bukti.

Dan pada 2017 ini, Hizbut Tahrir patut bersyukur karena cuma dibubarkan. Demikian pula Jonru karena hanya dipolisikan. Syiah pun demikian, masih bebas merayakan peristiwa kematian Husein bin Ali di Karbala padahal mereka lebih memilih berbaiat kepada Imam mereka dan ahlul bait, bukan kepada Jokowi.       

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun