Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Penulis,fiksi,komik,freejournalist,perupa dan aktifis teater

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ekspedisi Ventira, Negeri Yang Hilang (36/Bag:5/ Jika Mendengus Itu Bukan Cinta))

16 Juni 2020   00:05 Diperbarui: 16 Juni 2020   00:17 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Mpok jangan nyumpahin kite dong. Abis  orangnye cakep amat. Bahenol lagi ya, mang? Bayangin aja kalau mamang dapatnya yang kayak gitu, mang. Abis dah lu, mang," Baim menggoda Didin sambil berbisik jenaka tapi sengaja agar yang lain dengar. Melihat itu, yang lain jadi tertawa geli.

 "Baim!! Gua sumpel mulut lu pake cabe baru tau rasa lu ye? Malu-maluian aja jadi orang. Napsunya ditahan kaga bisa emang? Kagak bisa? Kawin sana ama yang single-singel no, masih banyak. Beraninya sama emak-emak aja.  Sebel gue. Bini orang dipelototin juga." Bentak Eva.

 "Maaf mpok. Abis cakep banget sih."

 "Sudah ah! Didengerin tuh. Bocah ini dibilangin nggak peka juga. Mending lu ambil no air cucian tangan di belakang." 

 "Siap mpok. Naruhnya dimana?" Baim tanpa dipaksa langsung melompat turun.

 "Di samping sumur, noh. Tumben lu rajin. Biasanya dua kali disuruh baru bisa jalan," komentar Eva.

 "Baim, lucu abis deh," tambah Burhan.

 "Lucu tapi ngeselin, Han," keluh Eva lagi. "Ya udah, silahkan dinikmatin makanannya. Abis makan kita masih bisa istirahat sejak dua jam. Yang belum mandi silahkan mandi dulu." Tambah Eva lagi. Lalu mereka mulai makan dengan lahapnya.

 Tak terasa sudah satu jam lebih mereka mengaso dan makan singkong rebus ditemani kelapa bahkan ada kopi hitam kental pula. Memang sangat nikmat dan berkesan. Apalagi dibawah atap beranda rumah pak Subhan yang  terbuat dari pelepah daun dan bertiang batang pohon. Lalu ada hembusan angin membelai mereka dengan manjanya, benar-benar membuat mereka makan dengan lahap meski dengan makanan ala kadarnya. Tambah lagi ditemani sambal pedas sebagai saosnya, benar-benar membuat mereka terus mengunyah hingga kekenyangan. padahal beberapa saat  lalu mereka baru sudah  makan siang serta ngopi dengan kenyannya.  Bagi mereka, Ini pengalaman makan yang tak terlupakan. Kehidupan kota mereka yang penat dengan segala hiruk-pikuknya membuat mereka merasa damai dengan lingkungan, kebersamaan serta keramahan Pak Subhan dan Istri. Apalagi dilengkapi dengan banyolan-banyolan Didin dan Baim yang kadang ditimpali Eva atau Burhan.segala perasaan was-was dan ketegangan lain soal keberangkatan nanti malam ke Ventira, untuk sementara terlupakan.

      ****

  Beberapa saat selanjutnya, di teras rumah Pak Subhan hanya tersisasa Baim dan Didin. Rainy dan Raiva turun ke pancuran  untuk mandi. Letak pancuran itu sekitar 50 meter di belakang rumah pak Subhan hanya jalannya menurun. Daniel nampak berbaring  di samping rumah dengan berbantalkan ransel kecilnya. Ia tiduran  di atas sebuah bangku yang dibuat dari dua buah papan lebar. Daniel  harus menunggu giliran dan bergantian untuk mandi di pancuran.  Padahal ia biasanya mandi sekali dalam 2 atau 3 hari, apalagi kalau dia lagi sangat sibuk. Namun melihat Raiva dan Rainy mandi mungkin membuat ia gerah juga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun