Malam baru saja pergi tanpa pamit. Cuaca sore selalu berkabut tebal apabila menjemput malam yang mulai menebar di kota kecil Tondano ini. Kota ini merupakan ibu kota Kabupaten Minahasa yang terletak di lembah dingin pegunungan Minahasa. Â Ini memang sangatlah dingin dan basah.Â
Tak heran setiap sosok yang kujumpai selalu terbungkus jaket atau sweater tebal. Rasa nyeri yang menusuk terasa bergerak-gerak dijemari tanganku.Â
Di depan, beberapa mobil atau bendi (Keandaraan tradisional setempat yang ditarik seekor kuda beban) yang melintasi satu-satunya jalan raya di pusat pertokoan ini mulai hilang ditelan gelap. demikian juga sosok manusia, serta bangunan, rumah dan pertokoan, semuanya nyaris tak bersisa sebagai siluet saja.
Aku mengetatkan mantel tipis yang terlalu kurang melindungiku dari serbuan udara dingin ini. Otak ku berpikir cepat. Segera... Warung kopi! Itu pilihan paling berarti disaat-saat seperti ini. Lalu dengan tergesa, aku menyerbu  masuk kesebuah warung kopi sederhana yang diapit beberapa toko kecil namun sudah tutup sejak sore.Â
Kepulan kopi panas segera menghiburku, seolah seorang kekasih yang memelukku tiba-tiba, ia mengalirkan rasa hangat melewati tenggorokan dan merasuki isi perutku. hmm... enak, meski kopinya baru mau dipesan.
Kemarin -sekali waktu- aku juga di tempat ini dengan kursi dan meja yang sama. Waktu itu, Mataku sedang menghitung waktu-waktu yang melintas didepanku. Lalu, seorang perempuan  dengan pakaian compang-camping berdiri terpaku ke arahku. Pengemis...!? bukan.Â
Di kota yang tenang dan damai ini tak akan ada pengemis. Ia hanya perempuan gila berusia kira-kira 60-an tahun. Anehnya, perempuan itu tak berkedip menatapku lekat-lekat. Ia seperti mengenaliku. Aku terpaku... Darah ku terkesirap... Ia nyaris masuk lewat tatapan mataku... aku jadi teringat Salempa.Â
"Mengertikah kau dengan tatapanmu...?" Astaga! Aku nyaris terlonjak. Ucapan itu tiba-tiba terlontar dari mulut wanita yang tetap terkatup itu. Perkataan-perkataan lain lalu meluncur lancar dari bibir kotor dan keriput itu, meski dengan mulut yang tak bergerak. Â "Mengertikah kau arti hidupmu...? Mengertikah kau nyanyian jiwamu...? Mengertikah kau detak setiap pindahan dan gerak telapak kaki...? Mengertikah kau usia matamu...? Mengertikah kau...? Mengertikah kau..? Mengerti...? Mengerti...!!!?"
Pertanyaan itu memburu, semakin lama semakin cepat dan keras. Aku terlontar ke atas pucuk-pucuk kesangsian akan kebenaran hidup. Lalu aku melihat sendiri, batas-batas logika yang menempel di dinding nalarku mulai meretak.Â
Aku meraih beberapa hakikat nalar yang dapat kuraih dengan rasa inginku, tapi hakikat-hakikat itupun pergi, terbang dengan sayap-sayap yang telah berubah menjadi bibir-bibir pucat tanpa cinta. bergulung-gulung kitab cemooh dan fitnah menempel disayap-sayap itu. Lalu wajah-wajah pias mengurungku... aku gemetar sangat.Â
Nafasku bergerak kuat, memaksakan niat untuk keluar dari sosokku. Namun dengan sekuat pertarungan hasrat, Â aku dapat merai nafas ku lagi. kataku "Bawa makna-makna cinta ini bersamamu dan taburkan kepada Mereka yang diam dalam semua lembah kekelaman." Lalu ia mulai mereda bersama guruhnya angin tanpa gerak.