Mohon tunggu...
Eyok Elabrorii
Eyok Elabrorii Mohon Tunggu... Penulis - penulis fiksi

Penulis yang mencintai blues dan air mineral.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alasan-Alasan

30 Juni 2021   05:00 Diperbarui: 30 Juni 2021   05:01 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://interaktif.kompas.id/baca/para-pemungut-sampah-di-tengah-wabah/

Sendok dan garpu adalah apa yang paling banyak kami temukan, setelah itu pakaian. Biasanya kami akan langsung mengganti baju bolong kami dengan baju-baju bagus yang kami temukan di sana. Tapi hari ini aku menemukan sesuatu yang berbeda. Benda itu berbentuk kubus warna merah dengan aksen emas pada tiap pinggirannya. 

Anak-anak lain mengerumuni temuanku itu. Satu anak mengatakan ini pasti berisi emas, satu lagi mengatakan ini berisi barang antik, semisal uang bolong yang dapat ditukar dengan beberapa lembar uang kertas. Karena terkejut dan terburu membayangkan kubus ini berisi benda mahal, aku tidak membukanya di telaga. Aku membawanya pulang saja, aku tidak mau anak-anak lain merebut isinya.

Di teras, ayah sudah menunggu. Bersamanya sebuah karung kotor yang nanti akan dia gunakan untuk menyimpan barang-barang yang dianggapnya sudah tidak layak pakai. Setelah membalas senyumnya, aku langsung masuk kamar untuk membuka kubus merah yang kutemukan tadi. Namun, tidak seperti yang aku harapkan, ia berisi satu lembar kertas puisi. Tidak ada nama siapapun yang bisa kutuding sebagai penulisnya. Titimangsanya bertulis Kota Bersih, 2019.

Setelah tak dapat juga memahami puisi itu, pada akhirnya aku menyilakan ayah untuk membacanya. Ayah hanya tersenyum melihat wajah bingungku. "Selain sampahnya, apa lagi yang kau tahu dari kota Bersih?" ayah bertanya. Aku hanya menjawab, "Penduduknya bersih, kurasa". Ayah tertawa, "Ada satu hal yang belum kau tahu. Kemudian bapak menceritakan bahwa rata-rata penduduk kota Bersih adalah penyair. Awalnya kota itu seperti kota-kota pada umumnya. Tapi setelah Orde Baru memburu PKI, kota itu kehilangan sebagian besar penduduknya. Orang-orang baru menetap di kota itu pada tahun-tahun berikutnya. Orang-orang yang mengutuk sampah, orang-orang yang serba bersih.

Ah, sebentar. Ayah menyebut Orde Baru dan PKI. Aku tidak mengerti, sebab aku masih delapan tahun. Aku pernah mendengar dua istilah itu sekali di berita. Lagipula aku juga tidak sekolah seperti kebanyakan anak-anak kampung lainnya. Aku tidak sekolah bukan hanya karena ayah tidak mampu, tapi juga karena sekolah yang lumayan jauh: satu sekolah suasta berada di kampung seberang bukit, lima lainnya lagi sekolah negeri, berada di kota Bersih. 

Dulu, cerita ayah di lain kesempatan lalu ketika aku meminta agar bersekolah- pernah ada satu sekolah di kampung ini. Setiap tahunnya, sekolah itu tidak pernah mendapat siswa lebih dari sepuluh. Orang kampung yang kampungan itu, -sampai sekarang- tidak memerlukan sekolah. Mereka hanya perlu uang untuk menyambung hidup dan kuat meneruskan pekerjaan.

Aku tidak menanyakan Orde Baru dan PKI kepada ayah. Aku lebih tertarik menanyakan identitas penduduk kota itu. Menurut ayah, penduduk asli kota itu sebagian masih menetap di sana, sebagian lagi pulang ke kampung halaman. Orang-orang baru telah jadi mayoritas dan memenangkan orang baru juga sebagai wali kota. 

Sejak pergantian wali kota, banyak peraturan baru berlaku, yang orientasinya mengarah kepada kebersihan kampung. Tidak ada taman ataupun tempat-tempat yang memungkinkan tanah tidak ditutupi kramik di sana. Wali kota sangat anti dengan tumbuhan. Kota itu benar-benar dilapisi bahan-bahan buatan.

Ayah mengatakan sebagian besar penduduk baru itu berasal dari kampung kumuh ini. Penduduk yang sudah muak hidup dengan sampah. Dan ayah bilang, sepertinya mereka tidak menemukan kebahagiaan di sana. Walaupun kota itu serba bersih, tapi mereka tidak akan menemukan pagi seperti milik kita, di mana orang-orang kampung akan saling menyapa seusai beribadah, fajar yang oranye, juga anak-anak yang bermain dengan akrab, atau parit-parit dengan alirian air jernih, serta sawah dengan segerombolan burung bangau. Ya, kampung ini memang kumuh, tapi alamnya masih asli, masih terjaga.

Ketika aku menanyakan, dengan apa membuktikan bahwa penduduk kota Bersih tidak berbahagia, ayah hanya menjawab, "Mereka menulis puisi."

Lombok Timur, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun