Malam terasa sangat perawan di rumah, dingin yang tidak terlalu, juga bising yang tidak sampai membuat pening (ah, seperti gadis lugu saja). Aku dan ayah berbicara jauh dan dalam seusai makan malam,
"Ayah, saya sudah pulang. Saya dikirimi undangan oleh kampus agar dapat menjadi dosen. Selain itu, direktur toko tempat saya bekerja juga memintaku kembali ke sana sebagai manajer penjualan. Saya juga sudah berusia."
Ayah tersenyum dengan matanya yang teduh dan menyimpan mendung di kelopaknya, "Ayah bangga, nak."
"Dan ayah, saya ingin menikah."
Ayah semakin sumringah, "Katakan, siapa orangnya?"
"Ayah ingat Anggi? Lamarkan dia untukku", aku menyebut namamu.
Ayah tidak lekas menjawab. Ayah malahan memelukku. Aku menebak-nebak, sepertinya ayah semakin bangga, aku tidak hanya berhasil membangun masa depan dengan baik, tapi juga berhasil menjaga cintaku kepada satu wanita saja.
"Nak, pencapaianmu yang sekarang sangat luar biasa", ucapnya dalam pelukan, "Impianmu dan impian ayah benar-benar terjadi. Tapi, nak. Anggi bukan jodohmu. Satu bulan yang lalu, dia menikah dengan teman dekatmu, Rio. Sepertinya mereka tidak pernah mengabarimu."
Ah, seperti biasa, di matamu, dia selalu tepat waktu dan aku tidak pernah tepat.
Mendung di mata ayah benar-benar menjatuhkan hujan dari mataku juga.
Taman Tugu Kota Selong, 2019