Mohon tunggu...
Widodo Darmosuwarto
Widodo Darmosuwarto Mohon Tunggu... lainnya -

umur 74 th, laki-laki, mantan wartawan 1965 -1998 di jakarta kini tinggal di karanganyar, jateng, masih aktif nulis di media massa.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Negeri Ini Selalu Kisruh?

23 April 2012   03:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada suatu hari salah seorang cucu saya bertanya,

“Mengapa negeri kita saat ini sering kisruh, eyang?”

“Kisruh soal apa?” Tanya saya

“Ya … hampir di semua sector pembangunan. Poleksosbud!”

“Wah … jawabnya panjang sekali cucuku! Jawab saya.

“Tapi saya mau jawaban yang singkat padat, eyang …”

“Hemm …begini! Setiap negeri pasti ada yang memimpin. Maju mundurnya suatu negeri amat tergantung pada para pemimpinnya, cucuku …”

Cucuku langsng memotong..

“Kalai begitu, para pemimpin negeri ini yang tidak baik, yang tidak mampu!”

“Oh no! No! …. Para pemimpin negeri ini sudah banyak yang cerdik-pandai. Mereka banyak yang bertitel professor, doctor, kiyai, ulama, jenderal, dan sebagainya. Masalahnya adalah, mereka membangun negeri ini tidak sesuai dengan jiwa bangsanya, watak bangsanya, way of life bangsanya. Mereka keliru memilih way of life bangsa ini untuk dijadikan landasan saat membangun bangsanya …”.

“Lho, kan kita sudah menggunakan landasan filosofi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika?” kata cucu saya.

“Benar! Tetapi tidak konsekuen, tidak murni, tidak jujur. Yang tertulis memang Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, tetapi kenyataannya liberalis, kapitaiis, akibat terseret dan tersandera oleh globalisasi … Cucuku, negeri atau bangsa itu tak ubahnya dengan manusia. Karakter suatu negeri tidak bisa diglobalkan. Way of life suatu bangsa tidak bisa dibuat sama. Di sinilah letak sumber kesalahan para pemimpin kita. Para pemimpin kita tak berdaya melawan godaan dan ajakan politisi Barat untuk mengikuti globalisasi, Memang budaya dan teknologi global tak semua baik dan tak semua buruk. Memilih yang baik dan membuang yang buruk itulah yang perlu kita lalukan. Dan itu bukan barang yang gampang.

“Apa benar globalisasi itu egois dan hanya menguntungkan yang kuat?” Tanya cucu saya.

“Sebagian benar. Globalisasi memang egois dan liberalis. Sedang way of life bangsa kita adalah sosialis Indonesia. Sosialis bangsa Indonesia bukan sosialis Barat, apalagi komunis! Jauh daripada itu. Sosialis bangsa Indonesia tecermin pada sifat persaudaraan yang kuat. Sifat ini masih kuat di masyarakat pedesaan. Sifat persaudaraan masyarakat kita terlihat pada ungkapan “gotong royong”, arisan, sambatan, rewangan. Dalam bidang ekonomi, khsususnya pada saat jual-beli, orang Jawa mengenal ungkapan: tuna satak bathi sanak. Artinya biar rugi dagangan, tapi untung dapat saudara. Dalam dunia pedalangan kita mengenal ungkapan: dudu sanak dudu kadang yeng mati melu kelangan. Artinya biar bukan sanak saudara, tetapi jika dia meninggal kita semua ikut kehilangan. Banyak lagi ungkapan yang sejiwa, yang maknanya menegaskan pentingnya persaudaraan di antara masyarakat manusia”,

“Jadi singkatnya apa eyang?”

“Nasib negeri ini selalu kisruh sebab bangsa ini hidup tidak sesuai dengan jiwa Pancasila yang asli-murni dan UUD 1945 yang asli-murni dan konsekuen. Bangsa ini sedang hidup dengan jiwa bangsa lain. Jadi bagaikan orang yang linglung ….Itu sebabnya selalu hidup kisruh, ambrul-adul! Sudah sekian saja, eyang mau istirahat dulu ya?” ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun