Mohon tunggu...
Widodo Darmosuwarto
Widodo Darmosuwarto Mohon Tunggu... lainnya -

umur 74 th, laki-laki, mantan wartawan 1965 -1998 di jakarta kini tinggal di karanganyar, jateng, masih aktif nulis di media massa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Perjuangan (7): Lahirnya Badan Intelijen Indonesia

25 April 2011   11:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:25 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ke Magelang dan Cimahi

BAGAIMANA nasib selanjutnya para siswa di Pusat Latihan Pemuda (Seinen Dojo) Tengerang? Karena ternyata, di berbagai palagan, medan perang, di Perang Asia Pasifik, balatentara Jepang keteteran, maju jadi abu, mundur jadi bubur, dilibas oleh pasukan Sekutu pimpinan Jendral Mc Arthur dari AS. Padahal semua lulusan Seinen Dojo Tangerang rencananya akan disusupkan ke Australia. Maka terjadilah kontroversi di benak para pimpinan militer Jepang di Jawa. Terjadi dua pendapat. Satu pihak berpendapat, Seinen Dojo harus dibubarkan sebab tak ada gunanya lagi bagi straregi besarmiliter Jepang. Pihak lain berpendapat jangan dibubarkan. Alasannya, mereka sudah tahu banyak tentang teori “Perang Rahasia Jepang”. Jika dibubarkan, para siswa bisa sangat berbahaya bagi kepentingan Jepang. Bahkan mungkin akan dirangkul pihak Sekutu. Perdebatan belum selesai akhirnya tertimpa oleh perkembangan baru. Apa itu?

Dinamika perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin seru, gegap-gempita! Dalam situasi politik yang kritis dan tak ada kepastian, pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diwakili oleh Gatot Mangkoepraja menggebrak dan mendesak pimpinan Angkatan Perang Jepang di Indonesia, yang intinya adalah: Pihak tentara Jepang harus segera melatih para pemuda Indonesia di bidang kemiliteran secara besar-besaran.

Usul Gatot tersebut ternyata mendapat tanggapan positip dari Panglima Pasukan Kekaisaran Jepang XVI di Jawa, Letjen Harada. Itu terjadi pada awal tahun 1943. Mengapa Letjen Harada setuju dengan usul Gatot? Tentara sukarela pribumi tersebut nantinya akan digunakan sebagai tameng terdepan tentara Jepang, saat nanti pasukan Sekutu masuk Jawa.

Sementara itu, Pusat Intelijen Jepang di Jawa atau Markas Besar “Perang Rahasia Jepang” (Sambo Beppan) yang berkantor di Jakarta juga punya masalah, yakni tentang bagaimana selanjutnya nasib para siswa di Asrama Tangerang tersebut, seperti telah disinggung pada awal tulisan ini.

Pimpinan Markas Besar “Perang Rahasia Jepang” tetap berpendapat, dengan hancurnya pasukan tentara Jepang di kepulauan timur Papua Nugini, Pusat Latihan Pemuda (Seinen Dojo/PLP) di Tangerang tidak ada manfaatnya lagi untuk diteruskan.

Tetapi Kepala Pusat Latihan Pemuda Tangerang Kapten Maruzaki tetap keberatan jika PLP Tangerang dibubarkan. Alasannya, tetap sama, berbahaya bagi kepentingan Jepang. Setelah masalah ini dibahas lebih dalam, apalagi ada usulan dari Gatot Mangkoepraja, bahwa pihak Jepang diminta mendidik pemuda-pemuda pribumi untuk dijadikan pasukan sukarela Pembela Tanah Air (Peta), maka akhirnya Pendidikan di Asrama Tangerang tidak dibubarkan, tetapi para siswa yang sudah menguasai ilmu kemiliteran akan dimanfaatkan sebagai asisten instrukur dalam rangka pembentukan Peta. Maka di saat-saat itulah akan lahirnya ‘bayi” Peta, pasukan Pembela Tanah Air, embrio Angkatan Perang Republik Indonesia. Di pihak Jepang, Peta akan dijadikan perisai terdepan pasukan Jepang. Di pihak Indonesia, Peta akan dibangun terus untuk dijadikan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang konvensional dan professional.

Keterangan Kapten Maruzaki, Kepala Pendidikan PLP Tangerang, rupanya meyakinkan Markas Besar Perang Rahasia (Intelijen) Jepang di Jakarta. Kata Kapten Maruzaki, para pemuda yang dididik di PLP Tangerang adalah para pemuda terpilih, lewat seleksi ketat, dan telah mendapat latihan militer yang keras dari para instruktur Jepang yang tangguh, professional. Mereka antara lain Letnan Satu Tanagawa Munenari, yang memiliki banyak pengalaman perang di Asia Tenggara. Kapten Maruzaki juga menjamin para siswanya tidak akan “macam-macam”, atau yang akan merugikan militer Jepang. Jadi Seinen Dojo jangan dibubarkan, bahkan terus dibina, diarahkan, dan dimanfaatkan untuk membantu rencana pembentukan Peta, seperti usul Gatot Mangkoepraja. Keterangan Kapten Maruzaki akhirnya diterima Panglima Pasukan Tentara Kekaisaran Jepang di Jawa.

Maka kemudian para siswa di PLP Tangerang dibagi menjadi dua grup. Satu grup, terdiri dari 25 orang. Satu grup dikirim ke Magelang, mereka antara lain Kemal Idris, Daan Mogot, Zoekifli Loebis, Moeffreni Moekmin, Koesno Wibowo, Endjon, Soeprijadi (tokoh Peristiwa Pemberontakan Peta di Blitar), Abu Djamal, dan Amir Sjamsoedin. Satu grup yang lain dikirim ke Cimahi.

Mendidik Calon DanTon dan DanRu

Tugas para siswa Seinen Dojo Tangerang di Magelang dan Cimahi adalah mendidik para calon Budancho, atau setingkat Komandan Peleton atau Komandan Regu. Grup Magelang antara lain terdapat nama Zoelkifli Loebis dan Amir Sjamsoedin. Asrama yang digunakan untuk mendidik para calon DanTon dan DanRu itu meminjam Asrama Tugu Magelang. Kompleks ini bekas asrama militer Belanda (KNIL) Bagian Senapan Mesin (Mitraliyur).

“Ternyata, setelah kami tiba di Asrama Tugu, di tempat itu sudah banyak pemuda. Mereka bergerombol, kemudian ikut menyambut kedatangan kami”, kata pak Amir Sjamsoedin. “Belakangan, saat pendidikan dibuka secara resmi, kami baru tahu bahwa mereka akan dididik sebagai budancho”, tambahnya.

Di tempat itulah, Amir Sjamsoedin mengenal pemuda yang bernama Ahmad Yani, Basoeki Rachmat, dan pemuda-pemuda lain, yang nantinya menjadi tokoh nasional ikut berkiprah dalam ranah militer. Para siswa calon DanTon dan DanRu yang dididik di Asrama Tugu Magelang berasal dari berbagai pelosok pulau Jawa, khusus dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka ditampung dalam barak-barak, setiap barak diisi 50 orang siswa. Setiap barak dikepalai oleh seorang instruktur, serdadu Jepang. Sedang para siswa Seinen Dojo menjadi asisten instruktur, yang disebut Seosei. Asisten instruktur adalah pemuda yang harus sudah menguasai ilmu kemiliteran dan bahasa Jepang, walaupun cuma “pas-pasan”. Dan tenaga itu sudah bisa diisi oleh para siswa Seinen Dojo Tangerang.

Materi, bentuk, dan jenis pendidikan di Asrama Tugu Magelang jelas tidak sama dengan materi, bentuk, dan jenis pendidikan di Asrama Tangerang. Karena tujuan pendidikan di Asrama Magelang untuk menghasilkan para DanTon dan DanRu, jadi materi pendidikan terpusat pada militer-infanteri. Tidak ada pelajaran yang berkaitan dengan Ilmu “Perang Rahasia Jepang”.

Setelah 3 bulan menjadi asisten instruktur, para siswa Seinen Dojo Tangerang, baik yang bertugas di Magelang maupun yang bertugas di Cimahi, ditarik kembali ke Asrama Tangerang. Pendidikan untuk menjadi DanTon dan DanRu yang secara kilat tersebut sudah dianggap cukup. Waktu sudah mendesak. Program pendidikan lain, di tempat lain, untuk keperluan lain, sedang digodok oleh pimpinan militer Jepang.

Sampai di Asrama Tangerang, semua siswa mendapat cuti seminggu, dengan catatan: 1. Boleh pulang kampung, 2. Tetap menjaga rahasia jabatan, 3.Tidak boleh mengenakan pakaian seragam militer, 3. Harus sudah tiba kembali di Asrama Tangerang tepat pada waktu yang telah ditentukan. (BERSAMBUNG) ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun