Mohon tunggu...
Ewinda Adlina Hashifa
Ewinda Adlina Hashifa Mohon Tunggu... Freelancer - Let's sharing with me

Researcher, Freelance Writer, Travel Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Catcalling" sebagai Bentuk Pelecehan Seksual yang Tidak Disadari

17 Desember 2019   20:41 Diperbarui: 20 Desember 2019   14:19 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catcalling atau street harrasment marak terjadi di sekitar kita tanpa disadari dan istilah tersebut masih asing di kalangan masyarakat awam. Bahkan ketika orang lain tengah menjadi korban catcalling, orang yang ada di sekitarnya tetap tak acuh karena menganggap catcalling merupakan sebuah candaan belaka. 

Tetapi, tidak ada kaitannya antara pelecehan seksual catcalling dengan sebuah candaan karena tetap saja korban tidak nyaman dan merasa dirinya terancam. Catcalling menjadi mimpi buruk bagi wanita di ruang publik.

Catcalling merupakan suatu pelecehan seksual di ruang publik berupa "panggilan manja" atau komentar terhadap bentuk tubuh wanita yang mengarah pada orientasi seksual dan rangsangan seksual secara visual. Contoh "panggilan manja" atau catcalling yaitu seperti "cantik", "sayang", "seksi", "cewek suit suit", dan sejenisnya.

Panggilan tersebut terjadi di ruang publik seperti di mall, halte, angkutan umum, stasiun, di jalan, di pasar, tempat kerja, dan tempat umum lainnya. Terkadang panggilan tersebut tidak membuat perempuan tidak nyaman dan bahkan merasa takut. 

Catcalling merupakan godaan yang mengarah pada arah seksualitas untuk perempuan bukan sebagai pujian atas paras perempuan, melainkan untuk mencari perhatian kepada perempuan dengan harapan mereka dapat melakukan hubungan seksual dengan perempuan tersebut. 

Perempuan dijadikan objek laki-laki untuk mau digoda karena mereka sudah tertarik secara seksual atas paras mereka dan terkadang laki-laki menjadikan godaan tersebut sebagai langkah awal untuk melangkah ke arah perkosaan.

Pelecehan seksual catcalling tak lepas dari konsep seksisme dan gender. Secara tidak langsung, pelaku catcalling telah merendahkan harga diri dan martabat perempuan sebagai korban karena mereka telah dilecehkan secara visual dan verbal dengan "panggilan manja". 

Hal tersebut juga dipengaruhi oleh budaya patriarkhi yang masih kental dalam masyarakat sehingga laki-laki merasa lebih berkuasa daripada perempuan dan laki-laki bebas melakukan apa saja terhadap perempuan termasuk melakukan pelecehan seksual. 

Sebagian besar korban dari pelecehan seksual yaitu perempuan karena akibat dari kuasa laki-laki dalam budaya patriarkhi yang semena-mena memberlakukan perempuan. Persepsi seksual pelaku pelecehan seksual menentukan perilaku seksual mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan Cornell University menemukan bahwa 71 % perempuan menjadi korban pelecehan seksual di ruang publik pada tahun 2014. Korban catcalling rata-rata berusia 11 sampai 17 tahun. Bahkan 50 % dari korban pelecehan tersebut telah mengalami pelecehan fisik. 

Selain itu, berdasarkan Survei Nasional 2018 Koalisi Ruang Publik Aman menemukan bahwa pelecehan seksual paling banyak dialami oleh perempuan yang memakai rok atau celana panjang yaitu sejumlah 17,47 %, selanjutnya yaitu baju lengan panjang 15,82 %, baju seragam sekolah 14,23 %, dan perempuan berhijab pendek/sedang 13,20 %. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun