Â
"Saya sudah latihan. Saya hafal semua jawaban. Tapi kenapa tetap gagal?"
Kalimat itu saya ucapkan dalam hati, pelan, sambil melangkah keluar dari ruang interview. Dada saya terasa penuh, tapi sekaligus kosong. Ada tekanan yang sulit dijelaskan, seperti udara dingin yang tidak terlihat, tapi terasa menusuk.
Langkah saya masih tegak. Dasi saya masih lurus. Tapi di dalam dada, ada ruang kosong yang membeku. Saya tidak menangis. Tapi saya tahu: Ada sesuatu yang hilang. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya. Tapi karena saya merasa tidak dilihat. Tidak tersambung. Tidak dihargai sebagai pribadi.
Saya Datang dengan Semua yang Saya Punya, Tapi Pulang dengan Pertanyaan yang Tidak Terjawab
Hari itu, saya merasa percaya diri. Persiapan saya tidak main-main. CV sudah disusun rapi. Riwayat pengalaman saya hafalkan seperti lirik lagu favorit. Saya berlatih menyusun kalimat dengan struktur STAR: Situation, Task, Action, Result. Semua saya pelajari dengan cermat.
Saya jawab pertanyaan tentang pencapaian. Saya bicara soal kerja tim. Saya jabarkan keunggulan saya dengan semangat. Tapi sepanjang wawancara, wajah HRD di depan saya nyaris tanpa reaksi. Tak ada senyum. Tak ada anggukan. Tak ada cahaya keterhubungan di matanya.
"Oke, next question,"Â katanya, datar.
Dan saat itu saya merasa: mungkin yang saya bawa bukanlah yang mereka cari. Mungkin saya belum jadi kandidat idaman HRD.
Interview Bukan Ujian, HRD Bukan Pemeriksa Jawaban
Saya baru benar-benar menyadari ini setelah beberapa kali gagal: Interview bukan soal seberapa sempurna kamu menjawab. Tapi seberapa nyata kamu hadir.
Kita sering sibuk dengan isi kepala sampai lupa membawa isi hati. Kita ingin tampil mengesankan, ingin memukau, ingin dianggap layak. Tapi, dalam proses itu, kita kehilangan diri sendiri.
HRD bukan hanya mencari orang yang cerdas secara teknis. Mereka mencari orang yang bisa diajak bekerjasama, yang bisa tumbuh bersama, yang bisa saling percaya.