Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Musim Bediding: Saat Tubuh Menggigil dan Kesadaran Spiritual Terbangun dalam Keheningan

22 Juni 2025   08:58 Diperbarui: 22 Juni 2025   15:53 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siluet seseorang duduk menyendiri dengan jaket di pagi musim bediding, meresapi keheningan dan menggigil dalam refleksi spiritual. (Pexels.com/Stefan Stefancik)

Pagi itu, udara seperti punya suara. Bukan suara yang bisa kita dengar dengan telinga, tapi yang menggigit langsung ke kulit, menyelusup ke sela-sela tulang. Dingin yang tak biasa. Dingin yang diam-diam mengusik kesadaran. Saya menyebutnya: musim bediding.

Saya tidak tahu sejak kapan persisnya istilah itu hidup di sekitar saya. Mungkin dari obrolan orang tua dulu, atau dari keluhan ringan teman sebangku saat musim hujan datang. 

Tapi baru belakangan ini, ketika hidup mulai melambat, saya merasa bediding bukan hanya tentang cuaca. Ia semacam isyarat. Sebuah sapaan dari alam yang, entah bagaimana, membuat saya berhenti. Berhenti bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. 

Sebuah jeda eksistensial, yang jarang kita izinkan hadir. Dingin menjadi bahasa yang tidak mengandung kata-kata, namun langsung menyentuh kesadaran yang paling dasar dalam diri: bahwa kita hidup, dan sering kali lupa merasakannya.

Musim Bediding: Saat Tubuh Tak Lagi Bisa Mengabaikan

Dingin yang datang di pagi hari itu bukan sekadar suhu. Ia membekukan rutinitas. Saya mendapati diri enggan beranjak dari selimut, membiarkan kopi mendingin, dan hanya menatap jendela yang buram oleh embun. Ada jeda yang tercipta. Dan dari jeda itulah, keheningan tumbuh.

Kadang, tubuh lebih dulu sadar sebelum pikiran ikut terjaga.

Musim bediding ini seperti menekan tombol jeda dalam hidup yang berlari terlalu cepat. Saya merasa lebih pelan. Lebih sadar. Dan anehnya, lebih hidup. 

Seolah, dengan tubuh yang menggigil itu, jiwa saya dibangunkan dari tidur panjangnya. Sebab keheningan yang dipaksa dingin, kadang lebih jujur daripada ribuan nasihat.

Ada sesuatu yang purba dari rasa dingin ini. Seolah tubuh kita sedang ditarik kembali ke asalnya, ke saat pertama kita belajar merasa. Dingin mengupas lapisan kesibukan yang menebal, dan memperlihatkan luka-luka kecil yang selama ini kita bungkus rapat. 

Ketika luka itu disentuh oleh rasa dingin, kita tak lagi bisa berpura-pura kuat. Ada semacam keretakan yang disengaja oleh alam, agar kita mau melihat ke dalam.

Kenapa Dingin Membuat Kita Lebih Peka?

Saya mulai bertanya-tanya: kenapa rasa dingin bisa membuat kita jadi lebih sadar? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun