Bayangkan sebuah ruang tak lebih luas dari carport 18 meter persegi, dan itu diklaim sebagai rumah subsidi ideal untuk keluarga muda.Â
Inilah kenyataan yang ditawarkan negara dalam skema rumah subsidi: solusi cepat yang terdengar logis di atas kertas, namun menyimpan ironi sosial di balik dinding tipisnya.
Di Balik Angka, Ada Manusia
Proyek ini mungkin berpijak pada niat baik: mengurangi defisit perumahan yang angkanya mencapai jutaan unit. Tapi siapa yang benar-benar dilihat oleh para pengambil kebijakan? Angka atau manusia?Â
Data backlog perumahan bisa dikejar, tapi kehidupan tak bisa dimampatkan seperti baris-baris di Excel.
Rumah tipe 18/25 Â untuk dua orang mungkin terdengar "cukup." Tapi ketika kita bicara keluarga, bicara tumbuh bersama, bicara tentang ruang untuk marah, rindu, lelah, dan tertawa apakah masih layak?
Lebih parahnya lagi, jika ruang hidup sempit semacam ini justru banyak dijadikan standar dalam proyek-proyek perumahan rakyat.
Dalam jangka panjang, hal ini bisa menciptakan segregasi spasial dan perasaan alienasi yang mendalam. Ketimpangan bukan hanya terjadi karena kesenjangan ekonomi, tapi juga karena perbedaan kualitas ruang untuk hidup.
Kita membangun kota dengan beton, tapi rumah dibangun dengan kasih, ruang, dan martabat.
Rumah: Tempat Tumbuh, Bukan Bertahan
Rumah bukan sekadar fisik bangunan. Ia adalah tempat di mana keluarga memulai hari, membangun harapan, menyusun masa depan.Â
Ketika yang disediakan hanya ruang 3x6 meter, apa yang sebenarnya sedang dibangun? Kenyamanan? Atau tekanan?
Tekanan itu sunyi, tapi nyata. Suhu ruangan yang panas karena sirkulasi buruk. Suara dari ruang sebelah yang tak bisa dihindari. Emosi yang tak sempat mereda karena tak ada ruang pribadi. Dari luar, ini rumah. Tapi dari dalam, ia bisa jadi perangkap psikis.